Selasa, 30 Desember 2008

Perkembangan Bisnis Telekomunikasi Indonesia

Telekomunikasi saat ini menjadi komoditas yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, mulai dari lapisan masyarakat menengah ke bawah sampai ke jenjang menengah atas, telekomunikasi menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi dan hampir menjadi kebutuhan primer masyarakat. Penulis saat ini tidak akan membicarakan kebutuhan itu secara mendetail, juga tidak membahas masalah persaingan perusahaan penyedia layanan telekomunikasi di Indonesia, karena kita akan masuk kepada ruang lingkup yang sangat luas seiring dengan beragamnya strategi bisnis yang dijalankan masing-masing perusahaan.

Dalam kesempatan ini, penulis akan mengajak pembaca melihat kembali apa yang terjadi di masa lalu saat telekomunikasi masih berupa mimpi dan akhirnya diwujudkan dalam perjalanan bisnisnya, teknologinya dan regulasinya saat telekomunikasi itu sendiri sekarang menjadi sebuah bisnis yang menjanjikan. Tidak mungkin sebuah komoditi bisnis tiba-tiba muncul tanpa adanya sebuah metamorfosa rangkaian kehidupannya. Di lain kesempatan, kita akan membahas sejarah telekomunikasi diluar sisi bisnis yang akan kita bicarakan sekarang.

Tahun 1884, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Perusahaan Post-en Telegraafdienst yang menjadi pelopor perusahaan telekomunikasi di Indonesia yang kemudian dalam perkembangannya kita kenal dengan nama PT. Telkom. Dalam masa sebelum kemerdekaan, perusaahan ini mengalami banyak perubahan nama seiring perubahan fungsi kerja yang dikelola. Hingga sampai tahun 1965, perusaahan yang saat itu bernama PN Postel, dilebur menjadi PN Pos & Giro dan PN Telekomunikasi

Tahun 1966, saat Presiden Soeharto menjabat Presiden Republik Indonesia, karena kesigapannya mengikuti arah pembangunan Indonesia, Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden mendampingi Kabinet Pembangunan Pertama dan mengeluarkan UU nomor 1 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), yang menurut penulis adalah strategi pembangunan yang sangat jitu yang menjadi titik awal perkembangan telekomunikasi di Indonesia.

Sebelum Repelita dicanangkan, para pejabat Dirjen Postel sebenarnya sudah mengusulkan kepada Pemerintah agar Indonesia menjadi anggota Intelsat, yang merupakan Konsorsium Telekomunikasi Satelit Internasional yang berdiri tahun 1964. Usul ini didasari kepada Infrastruktur Telekomunikasi Indonesia saat itu masih menggunakan teknologi berfrekuensi tinggi (single-side band dan shortwave) untuk menyelenggarakan telekomunikasi hingga titik terjauh dengan segala macam permasalahannya. Dengan masuknya Indonesia ke Intelsat, diharapkan Indonesia mempunyai standarisasi telekomunikasi internasional.

Adalah Soehardjono, yang menjadi Direktur Jendral Pos dan Telekomunikasi yang pertama di masa Orde Baru dan Sukarno Abdulrahman selaku Direktur Pembangunan PN Telekomunikasi, yang memperjuangkan agar Indonesia menjadi anggota ITU (International Telecomunication Union) dan menjadi founding member dari Intelsat. Dengan menjadikan Telekomunikasi sebagai sarana yang sangat penting dalam menjalankan visi dan misi Orde Baru, Pemerintah menyetujui usulan tersebut meskipun saat itu Pemerintah berada dalam kondisi keuangan yang tidak stabil.

Beranjak dari masalah tersebut, UU tentang Penanaman Modal Asing menjadi sebuah jawaban dari permasalah keuangan. Adalah ITT (International Telephone and Telegraph Corporation), sebuah perusahaan telekomunikasi raksasa Amerika Serikat saat itu yang menjadi perusahaan asing pertama yang menanamkan modalnya di bidang telekomunikasi sekaligus menjadi perusahaan asing kedua setelah Freeport di Papua yang menanamkan modalnya di Indonesia.

Dengan perjanjian kerja sama antara ITT dan Pemerintah Republik Indonesia diwakili Departemen Perhubungan saat itu, dimulailah babak baru perkembangan telekomunikasi di Indonesia, ITT menanamkan modalnya sebesar US$ 6,1 juta untuk membuat stasiun bumi pertama di Indonesia yang bertempat di Jatiluhur. Dalam perjanjian itu juga diatur soal kepemilikan Stasiun, pembagian keuntungan, pembayaran pajak dan hal-hal mengenai pengaturan operasional Stasiun.

29 September 1969, Stasiun diresmikan oleh Presiden dan menjadi hari bersejarah bagi per-telekomunikasian Indonesia dengan penggunaan Stasiun sebagai penyelenggara telekomunikasi internasional via Intelsat. Sesuai dengan perjanjian dan Undang Undang, ITT wajib melembagakan sebuah perusahaan sebagai penyelenggara kerjanya, maka lahirlah PT. Indonesian Satellite Corporation (Indosat) yang akan dipimpin oleh direksi yang berisi perwakilan kedua belah pihak.

Sejak dioperasikannya stasiun Jatiluhur, volume pembicaraan internasional Indonesia meningkat tiap tahunnya dan menjadi sebuah pangsa pasar bisnis yang menggiurkan. Fenomena ini menjadi bumerang bagi para pejabat telekomunikasi lokal, karena pasar yang sedemikian menguntungkan itu harus dibagi dengan pihak asing sesuai dengan MoU yang telah disepakati.

Secara perkembangan teknologi, Perumtel (telah berganti nama), menjadi perusahaan yang merasa paling dirugikan oleh kehadiran Indosat, karena Perumtel saat itu tidak mendapatkan bagian apa-apa dari percakapan internasional, padahal percakapan itu juga memakai jasa Perumtel yang menangani percakapan nasional. Sebagai contoh, seorang di Surabaya yang menelepon ke Belanda, harus melalui stasiun Jatiluhur (jalur nasional) sebelum akhirnya dihubungkan dengan Belanda.

Sebagai Informasi tambahan, sejak 1881, sebenarnya di bawah permukaan laut Indonesia telah dibangun SKKL (Sistem Komunikasi Kabel Laut), yang menjadi sarana Pemerintah Hindia Belanda berkomunikasi saat masih menyerang Kesultanan Aceh untuk memberitahukan perkembangan penyerangan dan meminta bantuan kepada Batavia. Sejak tahun 1966, proyek SKKL dihentikan, dan diganti dengan SKSD (Sistem Komunikasi Satelit Domestik) yang menjadikan Satelit sebagai tulang punggung infrastruktur Telekomunikasi di Indonesia dan mulai dioperasikan tahun 1975. Kebijakan ini diambil oleh Pemerintah dengan menjadikan Proyek SKSD menjadi Proyek Nasional dan mencatatkan Indonesia sebagai nagara kedua di dunia setelah Kanada yang memakai Satelit sebagai sarana telekomunikasinya.

Tahun 1976, satelit Palapa 1 diluncurkan dari Florida. Dan mulai saat ini, telekomunikasi nasional dan internasional di Indonesia masuk ke level yang lebih baik dengan ditunjang oleh jaringan modern gelombang mikro, kabel bawah laut, dan kabel serat optik. Tahun ini juga Indonesia memenuhi syarat Interkonetivitas seperti yang diharapkan dalam CCIR dan CCITT (badan internasional yang menetapkan standar untuk Radio, telepon dan telegraf).

Saat itu Indonesia mempunyai perusahaan telekomunikasi bonafit di Dunia yaitu Indosat dengan stasiun bumi di Jatiluhur yang menyelenggarakan telekomunikasi internasional, dan Perumtel dengan satelit Palapanya yang menyelenggarakan telekomunikasi nasional dan regional. Indonesia menjadi lahan subur bagi perkembangan telekomunikasi karena luas wilayahnya, pasar yang menguntungkan, serta keadaan keuangan negara Indonesia di pertengahan dasawarsa 1970an yang tengah surplus dikarenakan keuntungan dari sektor Migas.

Para ilmuwan telekomunikasi indonesia, pada awal dasawarsa 1980an, melihat perkembangan telekomunikasi ini menjadi sebuah bisnis yang bagus dan akan sangat merugikan Pemerintah jika bidang ini masih dibagi hasil dengan pihak asing, maka munculah ide untuk mengakuisisi Indosat dari kepemilikan asing dengan menjadikan perusahaan itu sebagai BUMN.

Maka, bermodal Kepres Nomor 52 tahun 1980, para pejabat telekomunikasi itu menjajaki kembali perjanjian dengan ITT tentang kepemilikan Indosat. Dengan alasan perjanjian itu tidak sesuai lagi dengan keadaan pembangunan yang sedang terjadi di Indonesia, pemerintah Indonesia secara resmi berniat untuk membeli Indosat dan menjadikannya BUMN. Dengan serangkaian perundingan yang alot yang juga melibatkan pemerintah Amerika Serikat, maka disetujui pembelian 100 % saham Indosat oleh Pemerintah, dan Indosat resmi menjadi BUMN dengan harga US$ 43, 6 juta dengan kurs Rupiah terhadap dolar saat itu sebesar Rp 625.

George Hunter yang saat itu menjabat sebagai Managing Director Indosat mengatakan bahwa:
”Keputusan Pemerintah Republik Indonesia untuk membeli Indosat tidak lepas dari adanya orang-orang di Perumtel yang arogan dan tak ingin kehilangan revenue nya ke Indosat.”
Terlepas dari benar tidaknya anggapan itu, dalam dunia bisnis, terlebih di bidang telekomunikasi yang saat itu sedang berkembang pesat, akan sangat mudah terjadi silang pendapat dan kebijakan yang saling bersentuhan dengan kepentingan masing-masing stake holder yang bermain di dalamnya. Penjualan Indosat kepada SingTel serta kemudian kepada Qtel baru-baru ini juga tidak lepas dari strategi bisnis yang tidak lain bertujuan agar Perusahaan dapat bertahan dan dapat meraup untung sebanyak-banyaknya.

Kelahiran Perusahaan penyedia telekomunikasi di indonesia seperti PT. Excelcomindo Pratama, PT. Mobile-8 Telecom dan PT Telkomsel dan lain-lain juga ikut meramaikan persaingan dunia bisnis telekomunikasi di Indonesia yang sebenarnya telah ada sejak Indosat berdiri dan menjadi pesaing Telkom di bisnis telekomunikasi.

Walaupun strategi bisnis ini sekarang tengah beralih kepada strategi permainan tarif, namun penulis yakin, masing-masing perusahaan tetap berkomitmen untuk menyelenggarakan telekomunikasi Indonesia yang menjadikan kepuasan pelanggan sebagai prioritas utama dalam bisnisnya. Strategi bisnis yang dijalankan oleh sarjana telekomunikasi Indonesia pada rentang tahun 1960-1980 dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga, tidak hanya menjadi sebuah sejarah yang ditulis dalam buku, tapi juga menjadi motivasi perusahaan dalam menyediakan layanan telekomunikasi di Indonesia.

Pemerintah juga hendaknya ikut serta dalam mengatur perkembangan itu, tidak hanya menjadi pengguna tanpa memiliki andil yang besar dalam kemajuan teknologi dan bisnis telekomunikasi. Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), serta pihak-pihak lain dapat ikut serta dalam membenahi permasalahan yang ada dan dapat merumuskan solusi dari ancaman dan gangguan serta kemajuan teknologi yang akan terjadi masa akan datang.

Dengan informasi tentang sejarah pertelekomunikasi di Indonesia ini, penulis berharap seluruh masyarakat dapat lebih mengenal sarana yang dipakai terkait masalah perkembangan teknologi, regulasi dan permasalahan yang terjadi didalamnya. Juga diharapkan agar masyarakat juga ikut ambil bagian dalam perkembangan teknologi dan bisnis telekomunikasi dengan memanfaatkannya untuk mendirikan lapangan kerja baru bagi penduduk indonesia, terutama di Aceh, menciptakan teknologi-teknologi dan inovasi yang mendukung telekomunikasi dan membantu pemerintah dengan memberikan saran dan kritikan terhadap bidang bisnis yang menjanjikan ini.

Telekomunikasi di Indonesia menjadi sebuah pasar bisnis yang menggiurkan untuk saat ini dan masa akan datang, selain jumlah penduduknya yang banyak, pola hidup masyarakat indonesia juga masyarakat Aceh sangat cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi, dan teknologi telekomunikasi adalah teknologi yang mempunyai kompabilitas tinggi.

Kita akan melihat sepuluh tahun kedepan, seluruh masyarakat di Aceh dan di Indonesia telah dapat tersambung dengan berhasilnya penyedia layanan telekomunikasi untuk menjalankan “sumpah palapa” yang mempunyai cita-cita untuk menyatukan nusantara walaupun dengan filosofi berbeda untuk jaman modern saat ini
Terakhir penulis mengambil kalimat dari Sukarno Abdulrahman yang dapat kita jadikan acuan dalam berbisnis teknologi telekomunikasi:
“Dalam telekomunikasi, yang penting bukanlah standarisasi, melainkan kompabilitas”

Tjoet Njak Dhien

Berbicara masalah gender, Aceh dapat dijadikan contoh bagi daerah lain di Indonesia. Sejarah panjang yang dimiliki daerah ini membuktikan bahwa para wanita Aceh telah merdamabaktikan dirinya dalam berbagai bidang, baik sebagai pemimpin di tingkat paling rendah sampai dengan pemimpin tertinggi di masyarakat. Dalam struktur masyarakat, wanita mempunyai otonomi yang cukup, yang mana terlihat pada sebutan po rumoh bagi wanita. Di bidang lain terlihat dari adanya wanita yang menjadi Sultanah, Laksamana, Uleebalang dan tidak sedikit yang berperan sebagai pemimpin perlawanan terhadap penjajah.
Peran wanita di Aceh dalam bidang peperangan secara panjang lebar telah diuraikan oleh H.C. Zentgaff. Beliau menyebut para wanita Aceh sebagai “de leidster van het verzet” (pemimpin perlawanan) dan grandes dames (wanita-wanita besar). Keberanian dan kesatriaan wanita Aceh melebihi segala wanita lain, lebih-lebih dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agamanya baik di belakang layar, maupun tampil ke garis depan perjuangan. Lebih detail, H.C. Zentgaff menyebutkan dalmam pernyataannya:
“Dari pengalaman yang dimiliki oleh panglima-panglima perang Belanda yang telah melakukan peperangan di segala penjuru dan pojok kepulauan Indonesia, bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh, dan kaum wanita Acah yang melebihi kaum wanita di daerah lainnya, dalam keberanian dan tidak takut mati. Bahkan mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah dikenal bukanlah laki-laki lemah dalam mempertahankan cita-cita dan agama mereka.
Salah satu srikandi yang sesuai dengan gambaran Zentgaff adalah Cut Nyak Dhien. Cut Nyak Dhien adalah pahlawan Nasional yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 106/TK/1964 tanggal 2 mei 1964.
Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien dilahirkan pada tahun 1848 di kampung Lam Padang Peukan Bada, wilayah VI mukim, Aceh besar. Ia merupakan seorang putri uleebalang yang berdarah pahlawan, Teuku Nanta Seutia. Teuku Nanta Seutia berasal dari keturunan Machoedoem Sati, seorang perantau dari daerah Sumatra Barat. Ia diperkirakan datang ke Aceh pada abad 18 ketika kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalulu Badrul Munir (1711-1733)
Machoedoem Sati kemudian berpindah ke muara sungai Woyla, perbatasan daerah Pidie, kampung itu bernama Kuala Bhee dan menetap disana. Atas jasa-jasanya pada Sultan Aceh, Machoedoem Sati diberi kekuasaan di VI mukim untun turun temurun dan namanya diganti menjadi Nanta Seutia Raja. Ia kemudian memiliki dua orang putra yang diberi nama Teuku Nanta Suetia dan Teuku Cut Mahmud. Teuku Nanta Seutia (ayah Cut Nyak Dhien) yang kemudian menjadi penerus uleebalang. Sedangkan Teuku Cut Mahmud menikah dengan adik raja Meulaboh Cut Mahani. Hasil perkawinan ini lahirlah 4 orang putra yang salah seorangnya adalah Teuku Umar (suami kedua Cut Nyak Dhien). Maka, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar adalah sepupu yang juga Suami Isteri.
Ibu Cut Nyak Dhien juga berasal dari keturunan bangsawan, putri seorang uleebalang terkemuka dari kemukiman Lampagar, juga wilayah VI mukim. Sebagaimana lazimnya putri bangsawan dan putri Aceh lainnya, sudah sejak kecil Cut Nak Dhien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan itu diberikan baik dari orang tuanya, maupun dari guru-guru agama pada waktu itu. Pengetahuan tentang rumah tangga seperti memasak, cara menghadapi atau melayani suami, serta hal lain tentang tata kehidupan berumahtangga didapatkan dari ibunya dan kerabat orangtua perempuan tersebut. Karena didikan tersebut, Cut Nyak Dhien mempunyai sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal.
Seperti lazimnya pada masyarakat bangsawan di Aceh, perjodohan antara sesama kerabat bangsawan menjadi hal yang lumrah. Di saat Cut Nyak Dhien menginjak umur 12 tahun, ia dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak saudara laki-laki dari pihak ibunya yang bernama Teuku Ibrahim Lamnga, putra Teuku Po Amat, uleebalang LamNga XIII mukim Tungkop, Sagi XXVI mukim Aceh besar. Teuku Ibrahim anak seorang uleebalang, tetapi juga disebabkan seorang pemuda yang taat agama, berpandangan luas, seorang alim yang memperoleh pendidikan dari Dayah Bitay
Pernikahan mereka dilangsungkan secara meriah, Teuku Nanta mendatangkan penyair terkenal Do Karim untuk membawakan syairnya dihadapan para undangan, syair-syair yang dibawakan mengandung ajaran-ajaran agama yang sangat berguna bagi pegangan hidup. Setelah Cut Nyak Dhien dan Teuku Ibrahim merasa sudah cukup siap mandiri membiayai rumah tangganya, mereka pindah rumah yang telah disediakan oleh Teuku Nanta.
Awal perjuangan
Pecahnya perang melawan kolonial Belanda 1873 menggerakkan seluruh rakyat Aceh untuk berjuang mengusir kolonial. Sultan Aceh, uleebalang beserta rakyatnya bersama-sama mempertahankan Aceh dari serangan Belanda. Mesjid Raya dan Keraton dipertahankan mati-matian oleh rakyat Aceh, meskipun pada tanggal 6 januari 1874, Mesjid itu jatuh ke tangan Belanda, Keraton dihujani peluru dan dapat dikuasai oleh Belanda pada tanggal 31 januari 1874.
Selama berkecamuknya peperangan, Teuku Chik Ibrahim meninggalkan Cut Nyak Dhien di Lampadang untuk berjuang. Oleh karena itu, Teuku Ibrahim jarang berada dirumah. Bersama Teuku Imum Leungbata maju keperbatasan VI mukim dan berusahan menaklukkan Meuraksa. Belanda semakin gencar untuk menundukkan daerah lainnya di luar Keraton dan Mesjid Raya.
Pasukan Belanda bergerak terus menuju wilayah IX mukim dan pasti akan menuju ke VI mukim, berbulan-bulan Teuku Chik Ibrahim tidak bertemu Cut Nyak Dhien. Kedatangannya ingin mengabarkan kepada Cut Nyak Dhien dan rakyat VI mukim harus meninggalkan Lampadang dan mengungsi ke tempat yang lebih aman dan menyiapkan bekal yang cukup untuk melakukan perjalanan yang panjang. Pada tanggal 29 desember 1875, rombongan Cut Nyak Dhien meninggalkan Lampadang.
Pasukan Teuku Nanta dan Teuku Ibrahim yang bermaksud mempertahankan VI mukim akhirnya harus menyingkir akibat serangan Belanda yang dipimpin oleh Van der Hayden. Akhirnya, daerah VI mukim berhasil dikuaisai kolonial. Pada tanggal 29 juni 1878, dalam suatu pertempuran di Lembah Beurandeun Gle’ Taron, kemukiman Montasik, Sagi XXII Mukim, Teuku Ibrahim dan beberapa pengikutnya syahid. Menurut Szkely Lulofs (1951), penyebab peristiwa itu, selain persenjataan yang tidak banyak, juga karena adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh seorang Arab bernama Habib Abdurrahman.

Perjuangan
Kekecewaan dan kesedihan sebagai akibat ditinggal suaminya dan darah kepahlawanan yang mengalir dari keluarganya menjadi dasar kuat bagi Cut Nyak Dhien, bahkan ia pernah berjanji akan bersedia kawin dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut bela terhadap kematian suaminya.
Adalah suatu hal yang tepat bila kemudian datang seorang laki-laki yang bersedia membantu Cut Nyak Dhien membalaskan dendam kepada Belanda, setelah bertahun-tahun menjanda, ia dipinang oleh Teuku Umar yang kebetulan adalah cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri. Teuku Umar yang berjiwa muda, keras, dan pikirannya yang susah ditebak berbeda dengan Cut Nyak Dhien yang lembut, agung, bijaksana, tabah dan sabar. Mulanya Cut Nyak Dhien menolak pinangan itu, tetapi karena Teuku Umar memberi restu apabila Cut Nyak Dhien ikut berperang, maka kemudian, pinangan itu diterima.
Bersatunya dua kesatria ini mengobarkan kembali semangat juang rakyat Aceh. Kekuatan yang telah terpecah kembali dipersatukan. Belanda di Kutaraja mendengar pernikahan antara Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Uleebalang yang memihak Belanda merasa kecut juga mendengar pernikahan mereka , adapun Tgk Chik di Tiro dan kawan-kawan seperjuangannya amat mendukung pernikahan mereka.
Bukti dari ampuhnya persatuan kedua pejuang Aceh ini adalah dapat direbut kembali wilayah VI mukim dari tangan Belanda. Cut Nyak Dhien dapat pulang lagi ke kampung halamannya, pada saat itu Teuku Nanta sudah sangat tua, oleh karena itu, Cut Rayut diangkat menjadi uleebalang pengganti Teuku Nanta. Namun sesungguhnya pengangkatan itu hanya sekedar kamuflase saja. Dengan diangkatnya Cut Rayut menjadi uleebalang, Cut Nyak Dhien akan bebas menjalankan politik dalam perjuangan Aceh. Cut Nyak Dhien kembali membangun rumah tangganya di Lampisang. Rumah ini menjadi markas pertemuan para tokoh pejuang dan alim ulama yang mengorbankan semangat jihad fisabilillah.
Selama Cut Nyak Dhien mendampingi Teuku Umar, banyak hal yang dapat dijadikan sebagai sebuah pengalaman menarik. Teuku Umar adalah seorang pejuang yang unik, iai dicintai rakyat, tapi pernah dibenci juga. Taktik Teuku Umar didalam peperangan menghadapi Belanda tergolong aneh bagi orang lain dan juga Cut Nyak Dhien sendiri. Ia pernah membantu Belanda atas permintaan Gubernur Aceh Loging Tobias, untuk membebaskan Kapal Inggris yang terdampar, kemudian disita oleh Teuku Imam Muda Raja Tenom. Namun pada saat itu terjadi penyerangan terhadap awak kapal yang dilakukan oleh pejuang Teuku Umar. Setelah peristiwa itu, Teuku Umar kembali ke Lampisang dan tidak mau lagi bekerja sama dengan Belanda. Tetapi rakyat Aceh tidak langsung percaya Teuku Umar, persoalan ini selesai setelah Kapal Nisiero baru diselesaikan setelah Belanda membayar tebusan sebesar 100.000 dolar kepada Raja Teunom
Kejadian lain adalah pada tanggal 14 juni 1886 Teuku Umar kembali mengadakan serangan terhadap kapal Hok Canton, kapal ini berlabuh di pantai Rigaih. Waktu itu Hansen beserta istrinya dan juru mudi Faya ditawan, karena Hansen meniggal, maka istrinya dan Faya dibawa ke gunung. Belanda berusaha untuk mencari kontak dengan Teuku Umar, tetapi tidak ada hasilnya. Sekali lagi Gubernur Belanda memberikan tebusan 25.000 kepada Teuku Umar, uang itu dibagi-bagikan kepada rakyat Aceh.
Namun kemudian, pada tanggal 30 september 1893, Teuku Umar beserta pasukannya yang berkekuatan 250 orang secara resmi bersedia membantu Belanda dan menyatakan tunduk kepada Belanda di Kutaraja. Teuku Umar bersedia untuk mengamankan Aceh dan Belanda memberikan senjata yang lengkap kepada pasukannya untuk menjalankan misinya mengamankan Aceh. Teuku Umar diberikan tanggung jawab panglima dan diberikan gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Rumahnya di Lampisang dibangun oelh pemerintahan Belanda. Bentuknya disesuaikan denga bentuk rumah pejabat Belanda dan dihiasi taman serta diberikan fasilitas yang memadai. Teuku umar kemudian menjalankan tugas dari Belanda untuk merebut daerah-daerah yang masih dikuasai oleh pejuang Aceh. Namun ternyata perjuangan itu hanya bersifat sandiwara saja bersama Cut Nyak Dhien dan pada tanggal 29 maret 1896 ia kembali membawa pasukannya untuk kembali dengan masyarakat Aceh dan membawa persenjataan yang lengkap yang merupakan hasil curian dari Belanda
Mengetahui pengkhianatan yang dilakukan Teuku Umar, Belanda mencabut jabatan sebagai panglima perang, gelar kebesaran Johan Pahlawan dan menyatakan perang terhadap Teuku Umar. Rumahnya di Lampisang dibakar dan dihancurkan oleh Belanda.
Akhirnya Teuku Umar beserta Cut Nyak Dhien pergi ke daerah Barat Aceh dan bertempur habis-habisan melawan Belanda. Selama itu pula Belanda terus mengejar keberadaan pasukan yang dipimpin suami istri tersebut. Pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar berniat menyerang kedudukan Belanda di Meulaboh, namun misi ini telah diketahui Belanda, dan Belanda mengirim pasukannya di daerah Suak Ujung Kalak Meulaboh untuk menunggu rombongan. Di daerah ini pula terjadi peperangan antara kedua pihak dan Teuku Umar syahid tertembak peluru Belanda. Jenazahnya dibawa oleh pasukan Aceh ke daerah lain. Kematian ini diketahui oleh Cut Nyak Dhien, dan dengan tekad yang membara, Cut Nyak menyediakan diri untuk memimpin perjuangan kembali.
Dalam perjuangannya, Cut Nyak Dhien dibantu oleh para uleebalang, datuk-datuk, serta penyair-penyair yang senantiasa membakar semangat juang masyarakat Aceh. Ribuan tentara Belanda tewas dan jutaan uang dihabiskan demi mengejar Cut Nyak Dhien. Tokoh tokoh yang membantu perjuangan Cut Nyak Dhien diantaranya adalah Teuku Ali Baet menantunya yang memberikan uang dan senjata kepada rombongan. Ada pula Teuku Raja Nanta, adik Cut Nyak Dhien yang sempat berpisah dari rombongan karenan kejaran Belanda, dan akhirnya syahid di pedalaman Meulaboh. Pada saat itu pula terjadi perlawanan oleh Sultan Muhamammad Daud Syah dan Panglima Polim yang berjuang di daerah Pidie.
Dalam perjuangan grilyanya, pendukung setia Cut Nyak Dhien selalu menjaga siang malam dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menghindari penggerebekan yang dilakukan Belanda yang tidak lain adalah imbas dari pelaporan para pengkhianat yang memberitahukan dimana posisi rombongan Cut Nyak Dhien.
Ada 2 Kapten Belanda yang menjabat saat perjuangan Cut Nyak Dhien, yaitu Van Heutz dan Van Dalen. Selama Van Heutz memimpin penjajahan (1898-1904), rakyat Aceh menderita korban sebanyak 20.600 orang. Pada tanggal 8 februari 1904 Van Dalen melakukan perjalanan panjang selama 163 hari kepedalaman Aceh, ia disertai 10 brigade marsose. Tujuannya adalah untuk menumpas habis perlawanan Aceh yang masih aktif di tanah Gayo (Aceh tengah dan Aceh tenggara).
Karena pengejaran habis-habisan tersebut, ruang gerak rombongan Cut Nyak Dhien tedesak, baik dari segi material senjata, bahan makanan yang tersedia, mental berjuang yang semakin kendur, serta fisik yang mulai menurun dikarenakan berbagai faktor yang membuat Cut Nyak Dhien menjadi sakit-sakitan dan terkadang dipapah saat melakukan perpindahan dari satu gubuk ke gubug yang lain.
Kondisi ini membuat Pang Laot, salah seorang pengikut setia Cut Nyak Dhien mengusulkan kepada Cut Nyak Dhien untuk menghentikan perlawanan dan menjaga kesehatannya dalam perawatan Belanda, namun Cut Nyak Dhien meresponnya dengan kemarahan sambil mengeluarkan perkataan: “lebih baik aku mati di rimba daripada menyerah kepada kafir Kompeni”.
Namun, dengan berat hati, Pang Laot akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda dan memberitahukan kepada Belanda di mana keberadaan Cut Nyak Dhien, dengan perundingan kepada Jendral Van Nuuren bahwa Cut Nyak Dhien akan dirawat sebagai seorang Pahlawan dan tidak akan dijauhkan dari masyarakat Aceh yang dicintainya. Perundingan ini disetujui oleh jendral Van Veltman
Atas kesepakatan itu, pada tanggak 23 Oktober 1905, Van Veltman mengerahkan pasukannya sebanyak 6 brigade (120 bayonet) ke daerah Pameue. Terjadi perlawanan dari para pengikut Cut Nyak Dhien, namun jumlah serdadu yang sangat minim membuat pasukan Aceh yang dipimpin Panglima Habib Panjang kalah, dan sang Panglimai pun syahid ketika hendak menyelamatkan anak buahnya.
Cut NyakDhien dikejar sampai ke daerah Beutong, namun sekali lagi paukan Aceh berhasil melarikan diri dengan jumlah yang sangat sedikit untuk melindungi Cut Nyak Dhien. Pada tanggal 7 november 1905, seorang anak kecil kurir Cut Nyak Dhien berhasil ditangkap oleh pang Laot dan dimintai keterangannya tentang keberadaan Cut Nyak Dhien. Berita itu membuat jendral Van Veltmen langsung memerintahkan pasukannya untuk bergerak. Akhirnya pencarian pun berakhir, Cut Nyak Dhien ditemukan, namun Cut Gambang putri Cut Nyak Dhien berhasil melarikan diri dengan lukak di dadanya. Pada saat ditangkap, Cut Nyak Dhien tidak mampu menahan emosinya kepada Pang Laot, Cut Nyak Dhien melontarkan sumpah serapah baik kepada Pang Laot, maupun kepada Belanda yang pada saat itu memperlihatkan sikap hormat.
Untuk beberapa saat, Cut Nyak Dhien diperlakukan sebagai seorang Pahlawan oleh Belanda, diberika fasilitas dan pelayanan yang baik. Namun rasa simpati dari rakyat tidak pernah hilang kepada Cut Nyak Dhie, membuat Cut Nyak Dhien sering dikunjungi oleh para masyarakat. Keadaan ini membuat Van Daalen selaku Gubernur Belanda merasa cemas dan mengusulkan untuk mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang agar jauh dari rakyat Aceh.
Satu tahun berada di pengasingan Sumedang, Cut Nyak Dhien mendirikan Pengajian untuk masyarakat sekitar dan pada tanggal 6 November 1908, seorang pejuang Srikandi Aceh itu pun syahid dalam pengasingan jauh dari keluarga dan rakyat yang dicintainya.

Asal Usul nama Aceh

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kini adalah nama resmi sebuah daerah di ujung Sumatra dan menjadi ujung bujur barat dari letak Geografis Indonesia. Nama ini baru saja kita nikmati setelah pergantian nama dari Daerah Istimewa Aceh yang merupakan Implementasi dari penerapan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA). Nama ini menandaskan Daerah ini siap dari sisi brand name untuk menyelanggarakan Syariat Islam yang telah beberapa tahun dijalankan. Nama mempunyai arti yang sangat dalam untuk menjelaskan karakter danri sebuah identitas, karena dengan nama, kita dapat dikenal. Dan nama Aceh ternyata telah mengalami masa perjalanan yang sangat panjang sehingga kita sekarang hanya mengenal Nanggroe Aceh Darussalam
Penulis akan mengambil dari berbagai referensi buku dan ceritera dari para sejarawan yang masih mengingat sejarah nama aceh untuk memberikan informasi itu kepada khalayak masyarakat Aceh dengan harapan kita dapat lebih mengenal daerah kita dari sisi sejarah yang mengidentifikasi kita bahwa Aceh mempunyai sejarah religius, keberagaman bangsa dunia dan yang pasti, keberagaman Sarakata.
Dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara, HM Zainuddin menyebutkan beberapa sumber yang penulis simpulkan sebagai berikut:
Lebih kurang 400 tahun masehi, pedagang Arab menamakan sebuah daerah di Kampung Pande sekarang dengan sebutan Ramli (Ramni). Sementara pelancong tionghoa menamakan daerah ujung sumatra ini dengan beberapa nama, misalnya; Lan-li, Lan-wu-li, Nan-wu-li, Nan-poli untuk menyebut nama melayu Lam Muri. Sementara Penjelajah Marco Polo dengan logat Eropanya menyebut daerah ini dengan Nama Lambri.
Saat Bangsa Portugis dan Italy datang memulai perdagangannya di Nusantara, nama-nama tersebut berubah seiring bergantinya generasi. Pedagang Eropa tersebut lebih senang menyebut dengan beberapa nama seperti; Achem, Achen, Acen. Sementara pedagang dan Pendakwah Arab menyebut Asji, Dachem, Dagin, Dacin. Sementara Saudagar Inggris agak sedikit berbeda di penulisannya, yaitu; Atcheen, Acheen. Sumber Belanda mempunyai daftar nama yang teratur yang menjadi rangkaian perubahan nama menjadi nama sekarang, yaitu nama Achem, Achim, Atchin, Atchein, Atjin, Atsjiem, Atsjeh dan akhirnya Atjeh.
Serangkaian penyebutan itu sebenarnya mempunyai makna dan daerah penyebutan yang sama, namun logat dan distribusi berita dari satu pedagang ke pedagang lain membuat perubahan sedikit dalam penyebutannya. Sementara dari sumber melayu, nama daerah ini disebut dengan nama Atjeh. Sumber ini berupa Tarich Melayu, Sarakata(surat-surat lama Aceh), mata uang, emas dan lain-lain.
Jika kita telisik lebih dalam ke sumber lengkap, ada beberapa sumber yang dapat dipercaya, yaitu: Tarich Kedah yang menyebut nama Atjeh sudah ada sejak tahun 1220 M (571 H), jauh sebelum Iskandar Muda memerintah Aceh Darussalam. Namun, ada naskah lama (301 M) yang menyebut daerah barat Aceh dengan nama Barosai untuk menyebut daerah Barus
Beberapa cerita akan penulis berikan terkait nama Aceh yang bisa jadi hanya berupa dongeng, namun dalam kajian sejarah, dongeng tidak dapat dipisahkan sebagai acuan.
Cerita pertama berasal dari Seorang Belanda Van Langen yang mendengar cerita tua yang menceritakan bahwa dahulu, sebuah Kapal dari Gujarat mendarat di Aceh dan merapat ke sebuah sungai yang indah, yang mereka sebuat dengan Tjidaih (cantik). Anak-anak buah kapal tersebut naik ke darat dan singgah di kampung Pande (Ramni). Saat itu turun hujan lebat dan mereka berteduh di pohon-pohon kayu. Saat hujan itulah, alam didaerah tersebut menampakkan kebesaran Allah dan mereka terkagum-kagum dengan menyebutkan : “acha...acha...acha...”, yang artinya: “indah...indah...indah...”. dari kata Acha itu, nama ini kemudian mengalami metamorfosa menjadi Atjeh..
Cerita lain yang agak aneh adalah cerita dari buku bangsa pegu (Hindia Belanda) yang menceritakan perjalanan budha ke Indo Tjina dan kepulauan melayu. Ketika sang budha berdiri tegak di sebuah gunung di ujung Sumatra, keluar cahaya berbagai warna dari tubuhnya, sehingga orang-orang yang melihat yang menyebut dan memanggilnya dengan takjub: “Acchera Vata” (Alangkah Indahnya). Dari penyebutan itulah timbul nama Aceh. Adapun gunung yang disebut itu adalah Gunung Ujung Teungku di Batu Putih yang saat portugis menyerang Aceh, gunung itu dimeriam olehnya dan sekarang tidak terlihat lagi.
Ada lagi sebuah legenda yang menceritakan bahwa nama Aceh berasal dari sebuah Daun yang hidup di daerah dan masa tersebut. Seperti sejarah nama-nama daerah lain, tumbuhan-tumbuhan yang hidup di masa itu menjadi inspirasi masyarakat di jaman tersebut untuk menyebut nama daerahnya. Sementara itu ada juga sumber yang menyebutkan Aceh berasal dari kata Atji yang berarti adik, cerita ini bermula dari seorang raja Hindu, Harsha yang mencari adiknya yang hilang ke daratan ujung Sumatra. Sang raja berasal dari dinasti Gupta. Oleh karena perang yang berkecamuk di daerahnya, sang adik yang telah kehilangan ayah dan suaminya dalam perang melarikan diri ke daratan sumatra. Sang Kakak yang setelah perang diangkat menjadi Raja, berjanji tidak akan memangku jabatan itu sebelulm ia menemukan adiknya.
Pelarian putri raja dan ekspansi sang kakak dalam mencari adik inilah yang bisa menjadi indikator adanya kerajaan Hindu yang tersebar di pesisir pantai ujung sumatra. Pengiriman tentara besar-besaran telah mengakibatkan hubungan antara pendatang dan penduduk sekitar terbina dengan baik sehingga kita akhirnya mengenal didirikannya kerajaan Hindu Indrapuri. Hal ini pula yang mengakibatkan, sebagian ritual adat di Aceh sekarang, masih berbau adat hindu karena memang sebagian besar nenek moyang kita beragama hindu sebelum Islam datang menyebarkan ajaran.
Sekian beberapa cerita tentang asal usul nama Aceh. Penulis merasa, postingan ini dapat menjadi awal dari blog dan kedepannya penulis dapat berbagi sejarah kembali. Untuk the next, kita akan bicara nama-nama asing yang pernah disebut untuk mengidentifikasi daerah pantai ujung sumatra ini dan bagaimana Hindu masuk ke daerah ini.