Selasa, 29 Desember 2009

Lhokseumawe, Sejarah dan Kenangan yang Terlupakan

Kota adalah sebuah karya manusia yang dimanfaatkan oleh manusia dalam hidupnya untuk menjalankan segala macam aktifitas dengan segala macam sarana dan prasarana. Kota menjadi sebuah wadah bagi pluralitas kemanusian yang kompleks dan terkadang juga penuh kontradiksi. Kota harus mempunyai tata ruang yang strategis, agar fungsi kota dapat dinikmati bagi seluruh penghuninya baik secara geografisnya, maupun secara fungsionalitas fasilitas yang terdapat dalam kota tersebut.

Banyak parameter dan variabel yang mempengaruhi perubahan keadaan dan kebutuhan sebuah kota. Salah satunya adalah perubahan kehidupan sosial dari masyarakat yang hidup didalamnya. Saat masyarakat merasa bahwa perubahan kehidupan dan kebutuhan itu menjadi sebuah keharusan, maka sebuah Kota pun mau tidak mau akan mengikuti arus perubahan yang terjadi di kehidupan sosial masyarakatnya.

Huff bahasanya…..





Lhokseumawe, selintas gak ada yang spesial dari kota kecil yang dikelilingi air ini, dengan luas sekitar beberapa km persegi dan hanya punya 5 kecamatan, praktis kehidupannya pun biasa aja..tapi dalam hidup saya, 17 tahun mengabdi pada kota tempat sebuah cita-cita diacungkan, tempat sebuah pelabuhan cinta didermagakan, tempat sebuah tongkat harapan ditegakkan, dan tempat sebuah penghuni sasana hati kini kutinggalkan.. Sangat tidak mungkin, semua kenangan di kota Lhokseumawe terlupakan, setiap langkah di sisi kota mempunyai memori, setiap jengkal tanah yang dipandang punya arti yang dalam.. oke, cukup nostalgia kita, untuk urusan Lhokseumawe, Penulis tak harus menjadi Sang Pemimpi

Banda Aceh udah diceritain tiap sudut sejarahnya, Sabang juga udah dijelajahi tiap titik objek wisatanya, Lamno dengan pesona serba birunya (hhe..) juga udah disimpan dalam hardisk 120 G kepunyaan Dell Biru ini.. Sekarang saatnya menjelajahi Lhokseumawe, kota Petrodolar yang kini tengah beranjak dewasa menjadi kota perdagangan.





Lhokseumawe, Kota yang kalo diliat di peta, berbentuk seperti palung laut, seperti teluk dan cocok banget bagi pelabuhan. Sepanjang kota Lhokseumawe dikeliling air, mulai dari Banda Sakti, sampai Ujong Blang, Pusong dan Cunda, hanya jembatan cunda aja yang menghubungkan kota Lhokseumawe dengan daratan Sumatera, makanya nama Lhokseumawe pun diambil dari keadaan geografis ini, Lhok yang artinya teluk, dan Seumawe menggambarkan banyaknya mata air di sepanjang garis pantai yang mengelilingi kota. Kampung yang paling tua di kota ini adalah Uteun Bayi, dan yang terluas adalah Teumpok Teungoh (waktu alis masih di lhokseumawe, hhe). Nama Lhokseumawe sendiri sempat berubah-ubah, pas jaman masih masuk dalam Mukim Kutablang abad 20, kota Lhokseumawe mulai menjadi jajahan belanda, banyak sisa sisa peninggalan belanda seperti SMU 1, SLTP 1, Kodam dan Kodim, Kantor Imigrasi dan BI, Bank Mandiri Merdeka, Pelabuhan Pardede, dan lain-lain masih banyak dapat dijumpai, kecuali SMU 1 yang sudah dirombak habis-habisan oleh pengembang….SMU 1 Lhokseumawe, tinggal kenangan…haha….

Tahun 1903, nama Lhokseumawe diubah menjadi Bestuur van Lhokseumawe, dengan kepala daerahnya Teuku Abdul Lhokseumawe tunduk dibawah Aspiran Controeleur dan di Lhokseumawe berkedudukan juga Controleur atau Wedana serta Asisten Residen atau Bupati. Pada dasawarsa kedua abad ke 20 itu, diantara seluruh daratan aceh, salah satu pulau kecil dengan luas sekitar 11 km2 (ibukota Lhokseumawe sekarang) yang dipisahkan sungai Krueng Cunda diisi bangunan-bangunan Pemerintah Umum, Militer dan Penghubungan Kereta Api oleh Pemerintah Belanda. Pulau Kecil dengan desa-desa kampung Keude Aceh, Kampung Jawa, Kampung Kutablang, Kampung Mon Geudong, Kampung Teumpok Teungoh, Kampung Hagu, Kampung Uteun Bayi dan Kampung Ujong Blang dan keseluruhan baru berpenduduk 5.500 jiwa, secara jamak disebut Lhokseumawe. Bangunan demi bangunan mengisi daratan ini sampai terwujud embrio kota yang memiliki pelabuhan, pasar, stasiun kereta api dan kantor-kantor lembaga Pemerintahan. Masa penduduk Jepang, Zelf Bestuurder Lhokseumawe tidak lagi dipegang Maharaja, tetapi mulai tahun 1942 s/d 1946 dipegang putranya Teuku Baharuddin.

Sejak Proklamasi kemerdekaan, Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia belum terbentuk sistematik sampai kecamatan ini. Pada mulanya Lhokseumawe digabung dengan Bestuurder van Cunda. Penduduk didaratan ini semakin ramai berdatangan dari daerah sekitarnya seperti Buloh Blang Ara, Matangkuli, Lhoksukon, Blang Jruen, Nisam dan Cunda serta Pidie dan menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Utara.





Pada Tanggal 14 Agustus 1986 Pembentukan Kota Administratif (Kotif) Lhokseumawe dilakukan, sebagai awal pembentukan kotamadya Lhokseumawe yang digagas oleh Bupati Aceh Utara Karimuddin Hasybullah. Kemudian, pada tahun 2000 Bupati Aceh Utara, Tarmizi A. Karim, merekomendasi menjadi Kota Lhokseumawe tanggal 21 Juni 2001, yang ditandatangani Presiden RI H. Abdurrahman Wahid. Kemudian pada tanggal 17 Oktober 2001 diresmikan Pemko Lhokseumawe hingga sekarang..sejarah yang sangat panjang.
Lhokseumawe besar dan berkembang seiring berkembangnya industri di Aceh Utara, seperti Industri PT. Kertas Kraft Aceh(PT.KKA), PT. Pupuk Iskandar Muda, PT. Asean Aceh Fertilizer dan EXXON Mobil – Arun. Dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat dari pabrik-pabrik besar yang dimiliki kota Lhokseumawe, namun tak juga mampu mengangkat derajat kehidupan sebagian besar penduduk asli Lhokseumawe dari bawah garis kemiskinan.



Berdasarkan hasil penelitian Geologi Departemen Pertambangan dalam wilayah Kota Lhokseumawe terdapat bahan galian Golongan C berupa batu kapur, tanah timbun dan pasir/kerikil. Di samping itu terdapat juga sumber daya alam berupa gas alam yang pengolahannya dilakukan oleh PT. Arun NGL Co. Sumber daya alam tersebut sudah dieksplorasi sejak tahun 1975 oleh Mobil Oil Indonesia Inc (sekarang Exxon Mobil) di Kabupaten Aceh Utara yang selanjutnya dilakukan pengolahan untuk diekspor ke luar negeri, hasil pengolahan gas dimanfaatkan oleh Pabrik Aromatix yang dibangun tahun 1998 dan perusahan–perusahaan besar lainnya seperti pabrik pupuk.

Lhokseumawe satu-satunya kota yang punya 2 bandara di Aceh, bandara ExxonMobil dan Bandara Sultan Malikulsaleh, dan satu-satunya kota yang punya 2 perguruan tinggi di Aceh, Universitas Malikulsaleh dan Politeknik Negeri Lhokseumawe. Lhokseumawe kini tumbuh dan berkembang seiring banyaknya ruko-ruko yang dibangun sebagai imbas dari semakin sedikitnya sumber gas dan minyak bumi yang terkandung di Arun. Para penduduknya yang sebagian besar pendatang mulai banyak yang pulang kampung, seperti saya, hh… dan penduduk aslinya banyak yang mulai membuka usaha perdagangan jasa dan produk. Praktis kehidupan mewah ala kota petrodolar sudah mulai tidak tampak di Lhokseumawe. Lhokseumawe punya komplek perumahan yang banyak, setiap pabrik yang mengadakan produksinya di Lhokseumawe punya komplek perumahan untuk karyawannya, mulai dari Bukit Indah untuk Exxon Mobil, Komplek Arun, Komplek PIM, AAF, dan KKA. Tapi, karena sumber daya alam yang makin menipis, komplek-komplek perumahan itu pun ditinggalkan oleh penghuninya, seperti AAF, Bukit Indah, dan KKA. Awal mula metamorfsis sebuah kota yang dulu sangat mengagungkan minyak dan gas bumi ini, kini geliat masyarakat mulai beralih kepada industri perdagangan produk dan jasa, selain mata pencaharian Pegawai Negeri Sipil yang sangat populer tentunya..



Tempat wisata di Lhokseumawe gak sebanyak di kota Aceh lainya, Walikota Lhokseumawe Munir Usman mulai membangun pusat wisata kuliner, seperti pantai Semadu di Kecamatan Muara Satu atau pantai Ujong Blang di Kota Lhokseumawe. Lagi-lagi jangan bayangkan Ujong Blang dengan pantai wisata lain. Selain hanya berupa deretan pantai bekas dihajar tsunami, sarana prasarana wisata di tempat in terbatas untuk duduk menikmati jajanan. Sisanya hanya kecipak air, tapi ya lumayanlah, sekarang udah banyak tempat-tempat duduk menikmati sore di Pantai yang punya julukan “wc terpanjang di dunia ini”.







Topografi Lhokseumawe memang berbentuk daratan yang menjorok ke laut, sisi timur dan baratnya dikelilingi teluk dan arus sungai yang bermuara melalui jembatan Cunda. Jika ingin mengunjungi pantai berpasir putih, Anda bisa melancong ke Ulee Rubek di Desa Ulee Rubek Kec. Seunuddon, 50 km dari kota Lhokseumawe. Atau jika bosan dengan pantai, bisa juga berkunjung ke pemandian Krueng Sawang. Tempat ini adalah sungai yang airnya sangat jernih penuh dengan bebatuan, tempat ini merupakan pemandian yang ramai dikunjungi wisatawan. Udaranya yang sejuk, lingkungan yang masih alami, sangat layak dijadikan sebagai lokasi perkemahan. Daerah ini juga dikenal sebagai lokasi perkemahan. Daerah ini juga dikenal sebagai penghasil durian. Ada juga air terjun Blang Kolam di Desa Sidomulyo. Sayang butuh waktu khusus untuk menuju lokasi ini yang kabarnya dipenuhi burung-burung liar

Situs Pasee

Dari seluruh lokasi wiasata, rasanya kurang jika belum berkunjung ke situs kerajaan Samudera Pase. Kerajaan Islam di Aceh Utara itu adalah batu penjuru masuknya Islam ke Nusantara. Pengaruh kerajaan ini bahkan mencapai Asia Tenggara. Jika menuju tempat ini Anda bisa melanjutkan ke lokasi Pantai Sawang yang terletak di Desa Sawang Kecamatan Samudera. Disini terdapat makam Malikussaleh, Ratu Nahrisyah dan situs-situs makam petinggi kerajaan serta ulama ternama pada abad ke-13. Kejayaan yang dulu menjulang seakan pupus ditelan waktu.

Makam Malikulssaleh dan putranya Sultan Malikul Dhahir terletak di Gampong Beuringen Kec. Samudera ± 17 km dari Kota. Tidak jauh dari tempat itu, terdapat makan Ratu Nahrisyah. Pemimpin Kerajaan Samudera Pasai tahun 1416-1428 M. Makamnya terletak di Gampong Kuta Krueng Kecamatan Samudera. Hanya beberapa langkah ada makam Teungku Peuet Ploh Peuet (44) dikuburkan 44 orang ulama dari Kerajaan Samudera Pasai yang dibunuh karena menentang dan mengharamkan perkawinan raja dengan putri kandungnya. Dan jangan tanya perawatan makam-makam ini. Lhokseumawe adalah kota yang sangat tidak menghargai peninggalan sejarahnya….





Berdasarkan berita Marcopolo pada 1292 dan Ibnu Batutah. Pada 1267 telah berdiri kerajaan Islam pertama di Indonesia, yaitu kerajaan Samudra Pasai. Ini dibuktikan dengan batu nisan makam Sultan Malik Al Saleh raja pertama Samudra Pasai bertahun 1297. Kesultanan Samudera Pasai, juga dikenal dengan Samudera, Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang.

Kerajaan Samudra Pasai berdiri sekitar abad 13 oleh Nazimuddin Al Kamil, seorang laksamana laut Mesir. Pada 1283 Pasai dapat ditaklukannnya, kemudian mengangkat Marah Silu menjadi Raja Pasai pertama bergelar Sultan Malik Al Saleh (1285 – 1297). Makam Nahrasyiah Tri Ibnu Battutah, musafir Islam terkenal asal Maroko, mencatat hal yang sangat berkesan bagi dirinya saat mengunjungi sebuah kerajaan di pesisir pantai timur Sumatera sekitar tahun 1345 Masehi. Setelah berlayar selama 25 hari dari Barhnakar (Myanmar), Battutah mendarat di sebuah tempat yang sangat subur. Perdagangan di daerah itu sangat maju, ditandai dengan penggunaan mata uang emas.

Pada masa Sultan Malikul Dhahir, Samudera Pasai berkembang menjadi pusat perdagangan internasional. Pelabuhannya diramaikan oleh pedagang Asia, Afrika, Cina, dan Eropa. Selama abad 13 sampai awal abad 16, Samudera Pasai dikenal sebagai kota di wilayah Selat Malaka dengan bandar pelabuhan tersibuk. Bersamaan dengan Pidie, Pasai menjadi pusat perdagangan internasional dengan lada sebagai salah satu komoditas ekspor utama.

Pasai juga menjadi pusat perkembangan Islam di Nusantara. Kebanyakan mubalig Islam yang datang ke Jawa dan daerah lain berasal dari Pasai bahkan terjadi hubungan pernikahan. Sebut saja Sunan Kalijaga memperistri anak Maulana Ishak, Sultan Pasai. Sunan Gunung Jati alias Fatahillah yang gigih melawan penjajahan Portugis lahir dan besar di Pasai. Laksamana Cheng Ho tercatat juga pernah berkunjung ke Pasai. Sementara Fatahilah, ulama terkemuka Pasai menikah dengan adik Sultan Trenggono(raja Demak/adik Patih Unus/anak Raden Patah). Fatahilah berhasil merebut Sunda Kelapa (22 Juni 1522) berganti nama menjadi Jayakarta, juga Cirebon dan Banten.

Masyarakat Aceh Utara memiliki warisan budaya yang sangat menarik, yang pada umumnya berakar dari nilai - nilai ajaran Islam. Ini semua bisa dilihat dari berbagai aktifitas masyarakat dalam bidang seni budaya seperti tari - tariannya, upacara - upacara adat, tata krama pergaulan, hasil - hasil kerajinan, kesemuanya kental dengan nuansa Islami.



Masyarakat Aceh Utara sejak zaman dahulu hidup dibidang pertanian, perkebunan dan lainnya. Daerah Aceh Utara telah berkembang berbagai kesenian : seni tari, seni drama, seni sastra, sandiwara, seni ukur / pahat dan berbagai jenis kesenian lainnya. Tari Aceh diiringi dengan vokal suara dan ada kalanya dengan Rapai, Serune Kale, Canang. Seni tari di Aceh Utara sudah lama berkembang khususnya kesenian tradisional umumnya kesenian tradisional ini dilakukan pada malam hari maa bulan terang, setelah musim panen disawah selesai, biasanya semalam sampai pagi, jenis kesenian di Aceh Utara yang berkembang dan sangat di gemari seperti: Seudati / Saman, Rapai Pasai, Rapai Dabus, Rapai Lahee, Rapai Grimpheng, Rapai Pulot, Alue Tunjang, Poh Kipah, Biola Aceh, Meurukon, Sandiwara / Drama Aceh dan Hikayat Aceh. Dalam notes ini, saya gak akan membahas semua tarian ini, nanti saja di notes lainnya, hha..




Masyarakat Lhokseumawe kiranya perlu peduli dan menghargai kembali sejarah dan lingkungan alamnya, tidak hanya sibuk dengan pembangunan dan terlena dengan masa kejayaan minyak bumi dan gasnya.. jika tidak, Lhokseumawe hanya akan menjadi Kenangan yang Terlupakan, 

Kamis, 24 Desember 2009

Sabang, dari Nol kilometer sampai Jutaan keindahan

Sabang, Anugrah Allah paling ujung Nusantara ini masih menyimpan kekayaan alam laut dan darat yang sangat berpotensi. Bukan Orang Aceh kalo belum pernah ke Sabang, hhe.. jadi Penelusuran Petualangan dan Sejarah serta adat Aceh kali ini bertujuan ke Sabang.. go a head…!!!





Sabang secara administratif, terdiri dari pulau pulau yakni Benggala, Klah, Rondo, Rubiah, Seulako, dan Weh (pulau yang paling luas). Di Pulau Weh terdapat sebuah danau air tawar bernama Danau Aneuk Laot. Pulau Weh merupakan sebuah pulau vulkanik, sebuah pulau atol (pulau karang) yang proses terjadinya mengalami pengangkatan dari permukaan laut. Proses terjadinya dalam tiga tahapan, terbukti dari adanya tiga teras yang terletak pada ketinggian yang berbeda.







Nah, petualangan sejarah kali ini akan mengajak kita mengetahui masa lalu Sabang sambil menikmati keindahan pantai, pesona laut Sabang yang gak kalah dengan Pesona di Manado, Selatan Jawa dan Seaworld-nya Amerika..

Perjalanan ke Sabang bisa ditempuh dari Banda Aceh, kota kelahiran ane.. Dengan 2 jenis kapal yang siap mengantar para penikmat pantai menuju Pelabuhan Balohan. Kapal yang satu kapal Ferry, yang menurut jadwal sih berangkat jam 9.30 pagi dari pelabuhan Ulhelhe Banda Aceh. Biayanya Rp 75.000. perjalanan menempuh waktu lebih kurang 40 menit, dimana kita melihat indahnya laut Sabang, syukur-syukur bisa melihat lumba-lumba.





Kapal kedua, kapal yang rada gede, kita bisa menaikkan kendaraan mobil dan motor (kalo di Aceh, bilangnya honda, atau kereta untuk semua jenis sepeda motor di Aceh). Biaya kapal ini rada murah, sekitar Rp 35000, tapi perjalanan akan menempuh waktu lebih kurang 2 jam kalo udara lagi bersahabat, bisa jadi juga sampe berjam-jam. Di laut Sabang ini kita bisa menikmati pertemuan 2 arah mata angin, satu dari Samudra Hindia di Barat, dan satunya lagi dari Selat Malaka di Timur. Selat Sabang ini menjadi jalur sibuk di masa penjajahan Portugis, Belanda, Inggris dan Sepanyol, saat mereka membuka jalan ke arah Asia untuk berdagang, menyebarkan agama dll..

Sampai di Sabang, pelabuhan Balohan, kita akan disambut dengan berbagai macam transportrasi umum yang siap mengantar kita kemana kita mau, bisa ke kota Sabang, Gapang, Iboih ataupun balik lagi ke Banda Aceh, hha…





Ada baiknya untuk membawa kendaraan pribadi dari Banda Aceh, demi keleluasaan dalam berpetualangan di Sabang, karena transportrasi umum di Sabang masih sangart susah. Jika hari masih pagi, nikmati dulu pemandangan dalam perjalanan menuju kota Sabang, kita bisa menikmati danau Aneuk Laot, coba juga mampir ke Pantai Sumur Tiga, tapi kalo kemari, perjalanan agak mutar dikit. Perjalanan dari Balohan ke Sabang, kalo rada santai dan menikmati pemandangan, bisa makan waktu 1-2 jam, tergantung keadaan isi perut, :)





Sebelum sampai Sabang, ada baiknya merencanakan mau tinggal dimana, kalo mau surfing, menikmati terumbu karang yang luasnya sampai puluhan ribu meter persegi, dan berenang, lebih bagus ambil di Iboih, selain pantainya sangat bagus, juga dekat dengan wisata pulau Rubiah, pulau yang masih mempunyai terumbu karang masih sangat alami (sayang alis gak punya kamera anti air, gak bisa difoto terumbu karangnya). Tapi penginapan di Iboih tidak seenak di Gapang, minimal fasilitas airnya. Agak susah mendapatkan air bersih di Sabang. Gapang lebih banyak tempat tinggal semacam cottage, sehingga fasilitas inap lebih enak. Kalo mau lebih enak sih di Sumur Tiga, ada 2 cottage yang menyediakan fasilitas ala barat. Tapi kalo mau backpacker-an sih, di pantai juga bisa tidurnya mah…







Biaya sewa alat untuk surfing, diving dan ski air beragam, tergantung air muka sang penyewa, kalo rada2 takut, yang punya alat mungkin berani ngasih harga 60 ribuan (udah termasuk pelampung, kaki katak dan kaca mata), tapi kalo rada-rada sok keras gitu deh, bisa dapet 45 ribuan. Tapi saya sarankan untuk tidak berkeras-keras dengan orang Sabang, mereka punya latar belakang orang laut, jadi mungkin lebih cepat panas, soalnya sering kena solar (upsssss….) tapi disarankan banget untuk tidak melewati kegiatan surfing ini…kecuali cuaca tidak memungkinkan..bisa juga nyewa perahu, boat dan apapun itu untuk ke Rubiah, biaya sewa kalo dari Iboih bisa 100.000 untuk paling banter 12 orang. Tapi kalo dari Gapang bisa 300.000, karena lebih jauh. Bisa nego kok… Mending pilih kapal yang ada kotak yang alasnya berkaca, jadi bisa melilhat terumbu karang dan ikan hias dari dalam kapal, indah banget dah…

Pulau Weh, pulau serba ada. Mau gunung api? Ada yang masih ngebul, bisa ditemui di daerah Jaboi. Mau Danau, ada juga, namanya Danau Aneuk Laot, yang merupakan salah satu sumber utama air tawar kota Sabang. Mau keindahan pantai ? juga banyak.





Sabang merupakan daerah endemik demam berdarah dan malaria, jadi disarankan juga untuk membeli autan dan semacamnya, kalo anda mau bakar-bakar ikan di pantai, atau mau tidur di pelabuhan, atau juga jika ingin mojok..(Dilarang Berkhalwat, ntar kena Cambuk…!!!). di Sabang Cuma ada 2-3 ATM, ada BPD Aceh, dan BRI, jadi kalo mau ngambil duit, ya mesti ke kota Sabang, jaraknya kira2 100 meter dari pasar Sabang. Disarankan juga untuk beli kue Sabang (mirip2 Lumpia nya Jogja), ada rasa kopi, kacang ijo, durian, nano nano dah… Orang Sabang menggunakan mobil chevrolet sebagai angkutan dalam kotanya, dengan naruh semacam pelindung hujan di bak nya, mereka siap mengantar masyarakat ke daerah2 Sabang. Yang paling keren, orang Sabang jadiin mobil BMW, Mercy, Camry dan sejenisnya untuk jemuran kain, jemur kerupuk. Kalo mau berjalan-jalan ke kampung, kita akan menjumpai mobil-mobil mewah yang terparkir di depan rumah-rumah kecil yang mungkin harga pasarannya, lebih mahal mobilnya ketimbang rumahnya, hhe…







Tahun 2000an, sejak Sabang mulai dibuka menjadi pelabuhan bebas, banyak mobil-mobil dari Singapura datang ke Sabang, awalnya diperuntukkan untuk orang Sabang (dengan tanda di plat nomernya BL xxx SB), trus akhirnya di kasi Quota ribuan mobil, dapat di bawa ke daratan Aceh, dengan tanda di plat nomernya BL xxx NA, nah sejak udah direformasi peraturannya, sekarang mobil-mobil bawaan Sabang, itu bertanda BL xxx AQ.

Rata-rata masyarakat Aceh yang punya mobil mewah, agak sombong, gak tau hidupin lampu samping, buang sampah dari jendela Mercynya, terobos lampu merah, gak segan-segan nglakson kendaraan yang mengganggu jalannya, nah liat aja platnya, apakah BL xxx AQ, kalo iya biarin aja, Orang Kaya Baru itu, belum pernah punya mobil… :)





Kembali ke Sabang, Sabang juga terkenal dengan durian kecilnya, berhubung saya tidak suka durian, jadi gak usah kita bahas mendetail..yang bagus untuk dinikmati, ikan-ikannya, mancing aja, anda akan mudah mendapatkan ikan-ikan di Sabang, mana tau dapat putri duyung.. (terutama di Pantai Ujung Kareung)







Sediakan waktu sehari untuk berkeliling pulau Weh, main-main ke Nol Kilometer di ujung pulau, Lhoong Angen di Barat Weh, hutan wisata Iboih, Gua Sarang, air terjun, Sumur Tiga, Pantai Kasih, Pantai tapak gajah, Anoi Hitam(bekas peninggalan benda-benda jaman perang dunia II, Ujung Seuke dan sumber air panas Paya Keuneukai, sangat banyak pesona pantai di Sabang, selamat menikmati..





Konon kisahnya dahulu kala, Pulau Weh itu sebenarnya bersatu dengan Pulau Sumatera. Namun dalam sebuah gempa bumi dahsyat, keduanya terpisah seperti kondisi sekarang yang berjarak 18 mil! Akibat gempa itu lagi, Pulau Weh menjadi tandus dan gersang.
Lalu ada seorang putri jelita di Pulau Weh yang meminta pada Tuhan agar Pulau Weh tidak gersang. Ia lalu membuang seluruh perhiasannya ke laut sebagai "kaulnya". Kemudian hujan pun turun, disusul gempa bumi. Akhirnya terbentuklah sebuah danau yang kemudian diberi nama Aneuk Laot di tengah-tengah pulau itu. Putri itu sendiri kemudian terjun ke laut.

Tak usah dipermasalahkan benar-tidaknya, sebab namanya saja legenda. Tetapi yang pasti Danau Aneuk Laot seluas 30 hektar itu masih ada hingga sekarang. Dengan kapasitas air 7 juta ton, danau itu menjadi sumber air minum utama penduduk Sabang. Sementara sumber cadangan air datang dari empat danau lagi, Danau Paya Seunara, Paya Karieng, Paya Peuteupen dan Paya Seumesi.

Kota Sabang sebelum Perang Dunia II adalah kota pelabuhan terpenting dibandingkan Temasek (sekarang Singapura). Sabang telah dikenal luas sebagai pelabuhan alam bernama Kolen Station oleh pemerintah kolonial Belanda sejak tahun 1881. Pada tahun 1887, Firma Delange dibantu Sabang Haven memperoleh kewenangan menambah, membangun fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan. Era pelabuhan bebas di Sabang dimulai pada tahun 1895, dikenal dengan istilah vrij haven dan dikelola Maatschaappij Zeehaven en Kolen Station yang selanjutnya dikenal dengan nama Sabang Maatschaappij. Perang Dunia II ikut mempengaruhi kondisi Sabang dimana pada tahun 1942 Sabang diduduki pasukan Jepang, kemudian dibombardir pesawat Sekutu dan mengalami kerusakan fisik hingga kemudian terpaksa ditutup.







Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Sabang menjadi pusat Pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS). Semua aset Pelabuhan Sabang Maatschaappij dibeli Pemerintah Indonesia. Kemudian pada tahun 1965 dibentuk pemerintahan Kotapraja Sabang dan dirintisnya gagasan awal untuk membuka kembali sebagai Pelabuhan Bebas dan Kawasan Perdagangan Bebas.







Orang Sabang, biasa tidak melaut di hari jumat, baik nelayan, maupun yang empunya kapal untuk wisatawan, biasanya ini perintah panglima. Kata “panglima” yang dimaksud adalah ketua adat yang harus mengelola wilayah laut. Kata itu sudah sejak lama digunakan pada masa Kerajaan Aceh pimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Waktu itu panglima laut adalah penguasa laut, tetapi sekarang bergeser menjadi pengelola wilayah laut. Berbagai informasi soal hukum adat laut, fenomena alam, kearifan lokal yang telah dikumpulkan dapat dibaca dalam buku “Hukum Adat Laut Sabang, Kearifan-kearifan yang Terlupakan”, pengarangnya lupa, tapi kalo mau baca, gak ada di Gramedia, adanya di Perpustakaan Ali hasjimi di Keutapang, atau di PDIA di Blang Padang, dan berbagai perpustakaan daerah di Banda Aceh. Kalo mau pinjam sih, fotocopynya ada di ruang baca di rumah saya..haha…

Setelah mengupas keindahan pantai, kekayaan dalam laut, hutan dan alam Sabang, juga udah mengetahui sejarah Sabang dan sebagian adat Sabang, sekarang kita membahas informasi-informasi yang ada di Sabang, sesama petualang harus berbagi informasi kepada yang lainnya..



Untuk tempat menginap, ada penginapan sederhana (tarif di bawah Rp 200.000/malam) seperti losmen2, di Iboih terdapat sejumlah penginapan berupa bungalow sederhana beratap ijuk dengan tarif sekitar Rp. 80,000an. Penginapan di Gapang juga merupakan bungalow yang banyak terdapat di sepanjang pantai dengan tarif sekitar Rp 100,000. Hotel dengan kondisi yang lebih baik adalah Gapang Beach Hotel dengan tarif mulai dari Rp. 200,000. Kalo mau nginap di Gapang, bisa hubungi bu Minah di 081360272270, kalo mau di Pantai Sumur tiga bisa ke 081360255001 (Freddy Guest House), ada juga Casanemo di 08136299942. Tapi kalo mau tips dan trik serta dapat biaya murah semua peralatan diving dan surfing, bisa ke Pak Mus, di 08126922711. Kalo yang ini saya gak jamin bisa, soalnya hanya orang-orang tertentu dan kenal aja yang bisa dapat, hahahahahaha (tertawa puas…). Tempat makan, banyaknya di Kota Sabang, kalo di kota lain ada juga sih, tapi ya rada-rada gimana gitu..

Setelah puas di Sabang, saatnya pulang, ingat istri dan anak di rumah, haha.. kapal dari Sabang ke banda aceh ada yang jam 4 sore dan 8 pagi (kapal cepat), ada yang jam 2 siang, kapal lambat. Kalo bawa mobil, disarankan untuk mengantri mobil lebih awal di pelabuhan, mengingat antrian yang sangat panjang, demikian juga di Banda Aceh. Sampai banda Aceh, bersiap pulang, dan istirahat, besoknya siap-siap aja pegal seluruh badan, namun udah punya pengalaman menarik, mengunjungi kilometer nol nusantara dengan berjuta keindahan sang maha pencipta. Sabang, dari Nol Kilometer, hingga Jutaan Keindahan

Minggu, 20 Desember 2009

Pesona Lamno, Pesona Wanita Bermata Biru..

Pesona Lamno, Pesona Pantai dan Wanita Bermata Biru..
Catatan Perjalanan Banda Aceh - Lamno 19 desember 2009


Long Weekend, memperingati tahun baru Islam 1 Muharram 1431 H. Semua anggota keluarga tengah berada di Banda Aceh. Setelah 1 tahun berkutat dengan kuliah master di Bandung, sepi tulisan tentang Aceh meski petualangan tetap dijalankan di tanah Jawa. Tahun ini petualangan berhasil dilakukan di semua Provinsi di Tanah Jawa, mulai dari kerasnya kehidupan di kota meranjak Metropolitan Tangerang di Provinsi Banten. Bolak balik ke Jakarta untuk mendalami sejarah Kota Tua Jakarta dan Pelabuhan Sunda Kelapanya.

Dan gak lupa juga mengunjungi Istana Negara yang megah serta bertualang ala presenter televisi saat menyoba semua track busway di Jakarta dengan modal hanya Rp 3500, mulai dari Stasiun BIOS di Utara, sampai Kalideres Barat, Blok M, Ragunan di Selatan, Kampung Rambutan di rada Tenggara jakarta, sampai pada Pulo Gadung di Timur, hingga kembali lagi ke Ancol di Utara. Perjalanan mengasyikkan, dimana merasakan sepinya Jakarta di hari Minggu, keliling Ibukota dengan modal Rp 3500, Lebih jelasnya dapat di baca disini

Bulan Juni 2009 menjadi bulan petualangan dengan tema 6 Provinsi di bulan ke 6. Awal bulan 6 ke Banten dan Jakarta, minggu kedua, mengunjungi Jogjakarta dan Candi Borubudur di Jawa Tengah. Minggu ketiga berbackpacker ria dengan Ridho Bustami di Pangandaran Jawa Barat selama 2 hari dan akhir bulan menikmati panjangannya Suramadu antara Surabaya dan tanah Madura. Misi awal tahun 2009 untuk keliling Jawa sekali lagi tercapai, setelah petualangan keliling jawa di bulan puasa 2006 . Dan ditutup dengan petualangan 4 jam di Malaysia . 2009 mendapatkan pengetahuan dan cita-cita baru, bahwa dunia ini masih sangat luas untuk dikunjungi, wait for me Europe…

Kali ini, misi akhir tahun 2009 untuk 2010 adalah petualangan Aceh.. Mengunjungi setiap titik sejarah dan Budaya Aceh. Menelusuri tiap langkah dan peradaban Masyarakat Aceh dan Menelaah Apa Itu Aceh? Mengapa dan Bagaimana masyarakat Aceh. Banda Aceh menjadi tujuan awal, dimana memang saya adalah anak Banda Aceh, meski numpang gede di Kota Lhokseumawe, hhe..Penelusuran Kota Bandar Wisata Islami Banda Aceh dapat di lihat di sini. Petualangan kali ini akan menikmati pantai barat Aceh, mulai dari pesona Lhoknga hingga pesona Lamno di 3 jam perjalanan dari Banda Aceh.











Lamno, dulunya bagian dari Kabupaten Aceh Barat. Tapi setelah pemekeran, Aceh Barat dibagi menjadi banyak kabupaten, salah satunya adalah Aceh Jaya yang ibukotanya di Calang. Salah satu kota besar yang sering dikunjungi masyarakat Aceh di kabupaten ini adalah Lamno, 86 km dari kota Banda Aceh.
Menurut apa yang ditulis oleh rekan Pak Iskandar Norman, dalam blognya,, begini ceritanya (btw, maap Pak Is, tulisan pak Is alis tambahin kemari ya..)

Lamno, Sebuah Riwayat

Di hulu Krueng Daya dulu ada sebuah dusun yang dinamai Lhan Na, sekarang disebut Lam No. Menurut H M Zainuddin dalam Tarich Aceh dan Nusantara (1961) penghuni dusun itu berasal dari Bangsa Lanun. Orang Aceh menyebutnya “lhan” atau bangsa Samang yang datang dari Semenanjung Malaka dan Hindia Belakang seperti Burma dan Campa. Kemudian ke hulu Krueng Daya itu juga datang orang-orang baru dari Aceh Besar, Pasai dan Poli (pidie).

Pada abad XV terjadi perang antara Raja Pidie dengan Raja Pasai. Perang itu disulut oleh Raja Nagor bekas petinggi di Pasai. Dalam perang itu Pasai Kalah, Sultan Haidar Bahian Sjah tewas. Raja Nagor kemudian memerintah Pasai (1417). Beberapa keturunan Raja Pasai kemudian melakukan perpindahan. Sampai kesuatu tempat mereka kelelahan tak berdaya melanjutkan perjalanan.
Mereka pun mendirikan negeri baru di daerah tersebut, negeri itu diberi nama Daya untuk mengenang ketakberdayaan mereka melanjutkan perjalanan. Cerita yang sama juga disebutkan dalam sebuah dongeng.

Menurut H M Zainuddin (1961), dahulu kala sekelompok orang datang ke negeri itu dengan perahu, sampai di muara sungai perahu mereka kandas. Mereka semua turun untuk mendorong perahu tersebut, tapi perahu itu tetap kandas. Mereka tidak beradaya lalu turun dan membuka perkampungan di sekitar muara sungai itu. Mereka pun menamai daerah itu dengan sebutan Daya.
Suatu ketika Raja Daya dan pasukannya melakukan pemeriksaan ke hulu sungai. Sampai di sana mereka mendapati sebuah perkampungan yang dihuni oleh orang yang mirip dengan bangsa Lanun dari Malaka dan Hindia Belakang. Mereka disebut orang Lhan.

Orang orang Lhan ini merupakan penduduk asli di sana, yang kala itu masih suka mengenakan pakaian dari kulit kayu dan kulit bintang yang tipis. Karena sudah lama mendiami tempat itu maka disebutlah mereka sebagai orang “Lhan Kana” atau “Lhan Na” yang artinya orang Lhan sudah ada disitu. Lama kelamaan terjadi perubahan pengucapat dari “Lhan Kana” menjadi “Lam Na” dan seterusnya ketika Belanda masuk ke Aceh ucapannya menjadi “Lam No”.

Masih menurut H M Zainudin, berdasarkan keterangan T Radja Adian keturunan Uleebalang (Zelfbestuurder) pada tahun 1945 diceritakan, Negeri Daya pernah diperintah oleh Pahlawan Syah, seorang raja yang pernah berperang dengan Poteu Meureuhom. Pahlawan Syah yang dikenal dengan sebutan Raja Keuluang merupakan orang yang kebal terhadap senjata apa pun, ia tidak bias ditaklukkan.







Ia orang yang sangat kuat. Kekuatannya itu diyakini masih menyisakan bekas berupa bekas tapak kakinya. Saat ia mencabut batang kelapa kakinya terbenam ke tanah. Tapak kaki itu disebut-sebut berada di Kuala Daya.

Disebut sebagai Raja Keuluang karena Pahlawan Syah berpostur tinggi besar, ketika dipanggil untuk menghadiri rapat (Meusapat) oleh Raja, peraturan yang diberikan Pahlawan Syah dan daerah yang dipimpinya selalu berbeda dengan daerah lain. Ia banyak mendapat keluangan, maka digelarlah dia Raja Keuluang.

Negeri Keuluang itu terdiri dari Keuluang, Lam Besoe, Kuala Daya dan Kuala Unga. Raja Keuluang meninggal setelah berperang dengan Poteumeureuhom. Raja yang kebal senjata itu berhasil ditangkap ketika daerahnya ditaklukkan. Ia meninggal dalam ikatan rantai besi.

Masa pemerintahan Raja Keuluang atau Pahlawan Syah menurut pemeriksaan Controleur Vetner di calang pada tahun 1938, diperkirakan antara tahun 1500 M sampai 1505 M. seber lain adalah T R Adian, sebagaimana dikutip H M Zainuddin. Menurutnya, pertalian keluarga Raja Keuluang tersebar dari Tanoeh Abee Sagi XXII Mukim Seulimum, Krueng Sabe dekat Calang dan Negeri Bakongan, Aceh Selatan. “Kalau naskah ini serta keterangan T. R. Adian itu kita hubungkan dengan makam Sultan Ali Riayat Sjah atau Marhum Daya, jang menurut pemeriksaan Prof. Dr. Mussain Djajadiningrat, Marhum Daja meninggal dalam tahun 1508,” tulis H M Zainuddin dalam Tarich Aceh dan Nusantara (1961) .

Sementara lainnya, di Kuala Ungan dekat Daya ada satu kuburan raja yang mengkat pada tahun 1497, tapi belum jelas makam siapa apakah makam Marhum Unga atau Marhum Daya. Masih juga belum jelas apakah Marhung Unga itu adalah Pahlawan Syah yang disebut sebagai Raja Keuluang, anak raja Pasai yang pertama membuka Negeri Daya.

Kemudian datang Marhum Daja Sulthan Ali Riajat Sjah yang namanya Uzir, anak dari Sulthan Inajat Sjah ibnu Abdullah Al Malikul Mubin, yang bersaudara dengan Sulthan Muzaffar Sjah. Raja di Atjeh Besar dan bersaudara pula dengan Munawar Sjah Raja di Pidie. Diyakinkan negeri Keluang/Daja itu berdiri pada akhir abad ke XV oleh Marhum Unga, bias jadi juga dibangun oleh Marhum Daya.

Setelah Negeri Daya maju dengan berbagai hasil bumi, pada akhir abad ke XVI datang ke sana orang orang Portugis, Arab, Spanyol dan Tionghoa untuk membeli rempah-rempah. Setelah itu datang juga orang Belanda, Inggris dan Perancis. Malah sampai kini di Lam No terdapat keturunan Portugis.







Bicara masalah keturunan Portugis, Lamno juga dikenal dengan pesona wanita bermata birunya. Mereka tinggal di pedalaman Lamno yang sebenarnya gak semua bermata biru, ada yang bermata coklat, yang tidak ada hanya bermata uang..haha..rasa penasaran iseng-iseng ngeliat tiap cewek yang lewat berpas-pas-an dengan mobil alis, haha. Cewek Lamno banyak yang manis-manis, sesekali melihat mereka dengan balutan kerudung yang melingkari wajah putihnya, dengan dihiasi mancungnya hidung yang terletak di manisnya senyuman. Sangat khas, hingga saat tulisan ini dibuat, masih terbayang…haha

Satu kali di pasar central Lamno, terlihatlah wanita itu, pakaian ungu menjadi perhatian saya dari jauh, menjadi perhatian, karena wajah putihnya menjadi nilai lebih, hingga ia sampai berada di samping, terlihat cahaya biru dari matanya, alamak….. manis nya roman itu…



Adat istiadat warga Lamno bermata biru ini tak berbeda dengan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat pada umumnya. Bahasa Aceh mereka, logat, maupun aksen, serta pengucapannya sama dengan bahasa Aceh biasa dan berlogat Aceh Barat. Menu makanan, dan makanan khasnya adalah makanan khas Aceh, seperti kari, dan masakan Aceh lainnya. Dan nasi merupakan makanan utamanya.
Seorang pemilik rumah makan di Lamno menceritakan pada hari-hari pasar mingguan, wanita dan pria bermata biru ini datang ke Pasar Lamno untuk belanja. "Kalau mau melihat mereka, saat itulah," kata pemilik tempat makan Ci taa Rasa di jalan pasar Lamno (makan siang disini lumayan enak, ada ayam gulai, ikan paya dll). Tapi jarang yang mau difoto. Maka untuk mendekati pria atau gadis Lamno bermata biru sebaiknya melalui kepala desa atau tokoh-tokoh Desa Daya yang biasanya lebih terbuka dengan masyarakat luar, gitu katanya..hhe

Sejarahnya kenapa mereka banyak yang bermata biru bermula dari cerita kerajaan Daya, saat masa penjajahan Portugis. Sebuah kapal perang Portugis yang kalah perang dengan Belanda di Melaka/Singapura. Dalam perjalannya dari Singapura ke negaranya mengalami kerusakan dan terdampar di daratan Kerajaan Daya, pada abad ke-15.

Raja Daya tidak membiarkan begitu saja kapal perang Portugis yang lari dari Perang Malaka dan Singapura itu bersembunyi di daratan Daya. Tentara Daya menembaki kapal itu dengan meriam-meriam besar hingga kapalnya tenggelam. Semua awak kapal dan tentara Portugis menyerah dan minta perlindungan dari Raja Daya, sambil menunggu datangnya kapal Portugis datang menjemput mereka.

Seluruh awak dan tentara Angkatan Laut Portugis tersebut kemudian ditawan oleh Raja Daya dan dikurung dalam suatu kawasan yang berpagar tinggi. Mereka menunggu bantuan, tetapi komunikasi sulit dan bantuan tak pernah datang. Akhirnya mereka menyerah kepada Raja Daya dan menyatakan masuk agama Islam. Setelah itu mereka pun dibebaskan dari tempat tawanannya. Mereka kemudian diajar bertani, diajar bahasa, adat istiadat dan kebudayaan Aceh, dan belajar menjadi orang Aceh. Dan jadilah mereka penduduk Aceh hingga sekarang.

Kalau melihat warga Lamno yang bermata biru atau coklat dan berprofil Eropa ini, tak salah kalau pakar sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Muhammad Gade, mengatakan ejaan lama kata "ATJEH" mempunyai makna, Arab (A), Tjina (Tj), Eropa (E), dan Hindustan/India (H). Maka orang Aceh yang sekarang, sebagian besar adalah keturunan Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan.



Kerajaan Islam pertama adalah Pasai (Pase) berdiri pada abad ke- 9. Pase yang sekarang tepatnya berada di kawasan pantai Samudera Gedong, sekitar 25 km dari Lhok Seumawe arah ke Medan. Di sini masih dapat disaksikan bekas-bekas bandar besar dan sebuah kompleks makam besar keluarga Sultan Pase (Sultan Malikussaleh). Tanah sekitar Bandar Pase ini hingga sekarang banyak mengandung pecahan keramik kuno Cina yang diperkirakan dibawa oleh kapal-kapal Cina yang kemudian juga terlibat perang dengan Kerajaan Pase.

Kerajaan Pase, Daya dan Pedir (Pidie), dan Lamuri kemudian bersatu menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1513 di bawah Raja Ali Mughayat Syah dari Kerajaan Lamuri. Ketika Kerajaan Pase diperintah Sultan Zainal Abidin (tahun 1511), tentara Portugal sebelum berperang melawan Kerajaan Melaka, sempat menyerang Kerajaan Pase.

Menurut Ali Akbar, Ketua Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Cabang Kabupaten Aceh Utara, semua peristiwa itu masih dapat dibaca tertulis dalam aksara Babilonia, Arab, dan Turki kuno pada beberapa batu nisan besar Kompleks Makam Sultan Malikussaleh, Raja Pasai (Pase).







Oke, selesai bicara tentang wanitanya, pesona alam di perjalanan menuju Lamno tidak kalah menarik untuk dibicarakan. Perjalanan berawal dari pantai barat Banda Aceh, mulai dari kawasan Lhok’nga. Jangan lupa untuk membeli kue-kue khas Aceh di kawasan Lampisang, dekat rumah peninggalan Cut Nyak Dhien. Selain untuk membudidayakan peninggalan kuliner tradisional Aceh, juga membantu warga-warga di Lampisang yang saat Tsunami lalu banyak ditinggal keluarganya akibat bencana 2004 itu. Selain itu ya untuk mengisi perut dalam perjalanan yang akan menghabiskan waktu sekitar 3 jam itu.



Jangan lupa pula untuk mengisi perut dengan makanan mengenyangkan, karena perjalanan akan melewati jalan berkelok-kelok yang merupakan perpaduan 3 gunung, Geureutee, Kulu dan satu gunung lupa namanya, hhe.. kemudian, isi bensin mobil atau motor anda, karena di gunung gak ada SPBU. Oia jangan lupa juga dan yang paling penting, siapkan kamera anda…

Melintasi Lhok’nga, melewati Pabrik Semen Andalas, dengan jembatan curahnya menambah indahnya pantai barat Banda Aceh dan Aceh Besar ini. Perjalanan ini akan ditemani ruas jalan selebar 16 meter, sangat luas untuk ukuran jalan negara di Aceh. Jalan yang dibangun oleh Amerika ini menghabiskan dana $ 1 juta per 1 km nya (itu menurut pak Kuntoro Mangkusubroto, mandor BRR Aceh Nias). Bayangkan perjalanan melintasi negara bagian Amerika di Texas menuju Oklahoma, jalanan sangat luas, namun di perjalanan Banda Aceh ke Lamno, melintasi gunung, hhe..

Pesona laut di sebelah kanan mobil bisa dinikmati dengan mata telanjang, karena apa? Garis laut berada di bawah mobil anda..ya, dibawah tebing yang sangat curam dan sangat rawan akan kecelakaan yang akan menyebabkan mobil langsung masuk ke jurang dan ya seperti yang terbayangkan, masuk ke laut.. Keamanan jalan masih sangat kurang, meski ada di beberapa bagian perjalanan gunung, ada pagar pembatas jurang. (saran buat supir: jangan pernah menikmati pemandangan disini, tanggung jawab penumpang berada di tangan anda). Dari gunung geureutee sangat indah, kelihatan laut nan biru, pesona 2 pulau yang terpisah dari daratan sumatera. Beberapa warung tersedia di tengah perjalanan, namun karena kondisi jalan yang disebelah kiri tebing dan sebelah kanan jurang, sangat susah untuk memarkirkan mobil jika hanya singgah membeli sprite dan coca cola untuk memancing angin dalam perut keluar.

Perjalanan akan sangat berbahaya jika dilakukan di tengah hujan lebat, karena tebing-tebingnya masih sangat rawan menghasilkan hujan batu dari atas. Perhatikan setiap rambu lalu lintas yang ada, karena itu akan sangat membantu kita menikmati perjalanan. Selain rambu-rambu adanya batu jatuh dan tanah longsor, perhatikan pula rambu-rambu tikungan. Postur geografis Gunung mengakibatkan perjalanan ini banyak menjumpai tikungan berletter U, mungkin ada puluhan tikungan U disini, sebelum akhirnya di kaki bukit, perjalanan kembali pada lebar jalan belasan meter..ada pula rambu-rambu khas masyarakat Aceh : “Dilarang Berkhalwat..!!”



Dikaki gunung geurutee juga terdapat pasir putih, yang tidak panjang seperti di Pangandaran, Cuma lumayan lah untuk menikmati indahnya pantai yang belum banyak terjamah ini (masih sangat alami), mungkin mirip pantai Pamengpeuk di selatan Jawa.. di kaki Geureutee ini, terdapat sebuah kawasan indah bekas Kerajaan Islam Daya, yang pernah jaya dan kuat.

Di Desa Daya juga terdapat sebuah bukit kompleks Makam Marhum Daya. Di batu-batu Nisannya terdapat catatan-catatan sejarah yang tertulis dalam aksara Babilonia dan Arab. Kompleks Makam Marhum Daya ini terpelihara dengan baik dan selalu ada yang berziarah dan membaca ayat-ayat suci Al Quran. Juga banyak yang datang karena tertarik pada sejarah kebesaran Kerajaan Daya.

ADA tradisi yang cukup menarik dalam masyarakat Daya yang juga diikuti oleh warganya yang bermata biru, yaitu perayaan adat Seumeulueng (suguhan makanan) untuk raja dan juga semua rakyat Daya. Perayaan Seumeulueng ini berlangsung pada setiap Hari Raya kedua Idul Adha.
Pada hari tersebut, seluruh rakyat Daya dengan dikawal oleh 17 pengawal yang berpakaian unik yakni, jubah hitam dengan kepala dan wajah tertutup oleh kerudung hitam sampai ke dada bagian atas, hanya berlubang pada bagian mata untuk melihat. Jubah itu bergaris-garis merah, dan pasukan pengawal kerajaan itu semuanya mengenakan pedang.

Rakyat yang berjalan dibelakangnya membawa hidangan makanan untuk raja. Tempat upacaranya berada di atas sebuah bukit tak jauh dari kompleks Makam Marhum Daya. Karena Raja Daya tidak ada lagi, maka yang menerima hidangan itu adalah salah seorang dari tokoh masyarakat Daya atau bisa juga salah seorang pejabat Kabupaten Aceh Barat yang dihormati rakyatnya.


Hari itu semua warga Daya keluar dari rumahnya dan mereka mengenakan pakaian yang baru yang indah-indah sebagai tanda ikut merayakan hari Seumeulueng. Upacara ini selalu ramai karena masyarakat Lamno, Meulaboh, ibu kota Aceh Barat, dan juga dari Banda Aceh, datang untuk menyaksikan acara langka dan unik itu.

Semua kegiatan adat Seumeulueng itu jika dikemas dalam satu paket wisata, ditambah dengan situs Kerajaan Daya yang masih tersisa, termasuk Kompleks Makam Marhum Daya yang penuh relief beraksara Babylonia, Turki, dan Arab kuno, akan menjadi daya tarik tersendiri.




di kota Lamno sendiri tidak banyak yang menarik, selain wanitanya..setelah shalat Zuhur dijama’ Ashar di Lhoong, perjalanan pulang menuju Banda Aceh disiapkan, sampah dibuang (ingat untuk tidak membuang sampah sembarangan dimana pun anda bertualang, karena petualang adalah pecinta alam, bukan perusak Alam). Perjalanan hujan, meskipun demikian pemandangan masih terlihat jelas diantara wiper yang dengan setia membersihkan kaca depan mobil. Perjalanan di akhiri dengan makan jagung bakar di pantai Lhoknga, lumayan untuk kembali memanaskan suasana karena dinginnya hujan. Dalam perjalanan pula akan banyak pedagang yang menjajakan buah-buah seperti Rambutan, Durian, ada juga yang menjual ikan Asin, dari berbagai jenis ikan dan cumi-cumi.

Perjalanan yang menyenangkan, will be back in the next destination.. wait for me the Blue Eyes Girls..