Sabtu, 30 Januari 2010

Sejarah Meulaboh, “…di siko lah kito belaboh… “

Meulaboh, Kota yang pernah terkenal karena bencana tsunami 2004 yang meluluh lantakkan sebagian besar kehidupan sosial dan infrastruktur kotanya. Kini Meulaboh hadir sebagai kota yang tengah membangun, membangun kembali jati dirinya sebagai sebuah kota yang mempunyai sejarah panjang sebagai salah satu identitas keberagaman yang ada di Aceh. Meulaboh juga kembali hadir sebagai sebuah kota yang ingin merubah pandangan dari kota penuh mistik menjadi kota penuh karakteristik.. dan pastinya Meulaboh juga hadir dalam deretan tulisan saya mengenai Aceh, hhe…

Setelah mendapat respon yang positif dari tulisan Banda Aceh (Menyusuri Sejarah kota Banda Aceh), Lhokseumawe (Lhokseumawe, Sejarah dan Kenangan yang Terlupakan), Lamno (Pesona Lamno, Pesona Wanita Bermata Biru) dan Sabang (Sabang, dari Nol Kilometer, hingga Jutaan Keindahan). Kini penelusuran sejarah akan menjejakkan kaki dan penanya ke sebuah kota tempat lahirnya Sang Pahlawan, Teuku Umar.

Setelah membuka 3 buah buku tentang sejarah Aceh yaitu Aceh Sepanjang Abad, Atjeh dan Nusantara serta buku kopian dari perpustakaan Ali Hasyimi (judulnya sudah tidak jelas lagi), tulisan pun dimulai. Dimulai dengan sebuah judul yang unik dibandingkan dengan tulisan terdahulu. Unik karena mengandung unsur kata dari daerah Minangkabau. Unik karena ini cerita tentang Meulaboh, bukan daerah di Semenanjung Mentawai, tapi di Semenanjung Barat Aceh.

Nama Meulaboh tak akan dipisahkan dari 2 perang besar di Jaman Belanda yang terjadi pada 2 daerah berbasis Islam terbesar di Pulau Andalas (Sumatera) yaitu Aceh dan Minangkabau. Jika di daratan Minang dikenal adanya perang padri yang dipimpin Tuanku Imam Bonjol. Perang ini melibatkan 2 pihak bersaudara sesama muslim antara kaum paderi yang membawa ajaran pembaruan Islam beraliran Wahabi dari Arab. Tiga orang ulama pulang dari mengikuti pendidikan di Arab. Mereka adalah Haji Piobang, Haji Miskin dan Haji Sumanik. Ajaran pembaruan Islam yang dibawa tiga orang haji ini, membuat gundah masyarakat Minangkabau yang waktu itu sudah menganut ajaran Islam, yang disebut beraliran Ahlu Sunnah wal Jama’ah.

Inti cerita perang ini adalah tentang makin kuatnya garakan Paderi melakukan penyerangan terhadap kaum adat yang menguasai Kerajaan Minangkabau di istana Pagaruyung. Dampaknya berpengaruh kepada para penghulu pemangku adat, yakni para datuk yang menjadi kepala suku di luhak nan tigo. Luhak Agam, Luhak Tanah Datar dan Luhak Limapuluh Koto. (Luhak-luhak tersebut sekarang disebut kabupaten).

Salah seorang datuk yang merupakan kaum bangsawan dari keluarga Kerajaan Minangkabau itu, adalah Datuk Rajo Agam, penghulu suku Sikumbang di Luhak Agam. Bersama Datuk Rajo Alam dari Luhak Tanah Datar dan Datuk Makhudum Sati dari Luhak Limopuluh Koto, mereka bersepakat menghindari pertumpahan darah, mengungsi ke arah Utara. Dengan menaiki beberapa perahu di pelabuhan Tanjung Mutiara rombongan berlayar ke arah Utara (ke arah Aceh). Dan berlabuh di suatu negeri pantai yang waktu itu bernama Pasir Karam.

Kedatangan bangsa Minangkabau ke daratan Aceh, yang dulunya bernama Pasir Karam ini diperkirakan awal mula munculnya kata Meulaboh, dimana para pendatang itu kemudian mengucapkan kata: “… di sikolah kito belaboh…” dan pengucapan kata itu hari demi hari ini menjadi sebuah kebiasaan masyarakat yang pada masa dulu menjadikan sebuah cirikhas daerah menjadi nama daerah tersebut.

Dari buku Atjeh dan Nusantara, diungkapkan oleh HM Zainuddin, bahwa negeri ini dibangun pada masa Sultan Saidil Mukamil (1588-1604). Pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya.
Di negeri itu dibuka perkebunan merica, tapi negeri ini tidak begitu ramai karena belum dapat menandingi Negeri Singkil yang banyak disinggahi kapal dagang untuk mengambil muatan kemenyan dan kapur barus. Kemudian pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam kembali ditambah pembangunannya dengan pembukaan kebun lada. Untuk mengolah kebun-kebun itu didatangkan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar disusul kemudian dengan kedatangan orang-orang Minangkabau yang lari dari negerinya akibat pecahnya perang Padri (1805-1836) seperti cerita di atas.

Pendatang dari Minangkabau itu kemudian hidup berbaur dengan masyarakat setempat. Diantara mereka malah ada yang menjadi pemimpin diantaranya: Datuk Machadum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam. Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu. Mereka menebas hutan mendirikan pemukiman yang menjadi tiga daerah, Datuk Machdum Sakti membuka negeri di Merbau, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala yang menikah dengan anak salah seorang yang berpengaruh di sana.

Sama dengan masyarakat setempat, ketiga Datuk tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka ladang, sehingga kehidupan mereka jadi makmur. Ketiga Datuk itu pun kemudian sepakat untuk menghadap raja Aceh, Sultan Mahmud Syah yang dikenal dengan sebutan Sultan Buyung (1830-1839) untuk memperkenalkan diri.

Ketika menghadap Sultan masing-masing Datuk membawakan satu botol mas urai sebagai buah tangan. Mereka meminta kepada raja Aceh agar memberikan batas-batas negeri mereka. Permintaan itu dikabulkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian diangkat menjadi Uleebalang Meulaboh dengan ketentuan wajib mengantar upeti tiap tahun kepada bendahara kerajaan.

Para Datuk itu pun setiap tahun mengantar upeti untuk Sultan Aceh, tapi lama kelamaan mereka merasa keberatan untuk menyetor langsung ke kerajaan, karena itu mereka meminta kepada Sultan Aceh yang baru Sultan Ali Iskandar Syah (1829-1841) untuk menempatkan satu wakil sultan di Meulaboh sebagai penerima upeti. Permintaan ketiga Datuk itu dikabulkan oleh Sulthan, dikirimlah ke sama Teuku Chik Purba Lela. Wazir Sultan Aceh untuk pemerintahan dan menerima upeti-upeti dari Uleebalang Meulaboh.

Para Datuk itu merasa sangat senang dengan kedatangan utusan Sultan yang ditempatkan sebagai wakilnya di Meulaboh itu. Mereka pun kemudian kembali meminta pada Sultan Aceh untuk mengirim satu wakil sultan yang khusus mengurus masalah perkara adat dan pelanggaran dalam negeri. Permintaan itu juga dikabulkan, Sultan Aceh mengirim kesana Penghulu Sidik Lila Digahara yang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang negeri.

Permintaan itu terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh para Datuk itu meminta agar dikirimkan seorang ulama untuk mengatur persoalan nikah, pasahah dan hokum Syariat. Maka dikirimlah ke sana oleh Sultan Aceh Teungku Cut Din, seorang ulama yang bergelar Almuktasimu-binlah untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh.

Meulaboh bertambah maju ketika Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Ibrahim Mansjur Sjah (1841-1870) karena semakin banyaknya orang-orang dari Minangkabau yang pindah ke sana, karena Minangkabau saat itu sudah dikuasai Belanda. Di sana mereka tidak lagi bebas berkebun setelah Belanda menerapkan peraturan oktrooi dan cultuurstelsel yang mewajibkan warga menjual hasil kebunnya kepada Belanda.

Di Meulaboh para pendatang dari Minangkabau itu membuka perkebunan lada yang kemudian membuat daerah itu disinggahi kapal-kapak Inggris untuk membeli rempah-rempah. Karena semakin maju maka dibentuklah federasi Uleebalang yang megatur tata pemerintahan negeri. Federasi itu kemudian dinamai Kaway XVI yang diketuai oleh Uleebalang Keudruen Chik Ujong Kala.

Disebut Kaway XVI karena federasi itu dibentuk oleh enam belas Uleebalang, yaitu Uleebalang Tanjong, Ujong Kala, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am.

Salah seorang dari 3 datuk yang berkuasa di Meulaboh, adalah Machdum Sakti, yang merupakan Kakek dari Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Datuk Makdum Sakti mempunyai dua orang putra, yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud yang menikah dengan adik raja Meulaboh Cut Mahani merupakan bapak Teuku Umar. Dan Teuku Nanta Setia (penerus Uleebalang) adalah Ayahanda dari Cut Nyak Dhien, jadi Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar itu adalah Sepupu. Pernikahan antar sepupu di Aceh pada masih sangat lazim, mengingat masih kuatnya paham Pernikahan Sekufu (makanya penulis gak nikah-nikah, hha)

Jadi Meulaboh menjadi Saksi bisu, 2 perang yang berkecamuk di masa dahulu, yaitu perang Paderi di Minangkabau antara Kaum kerajaan dan kaum paderi serta perang Aceh yang salah satu daerahnya dipimpin oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien melawan tentara Belanda di Pantai Barat Aceh.

Kini di Meulaboh, dibangun jalan dari Banda Aceh sepanjang jarak Banda Aceh Meulaboh, diharapkan panjangnya jalan itu, menjadikan panjang pula cita-cita masyarakat Kawasan Barat Aceh untuk kembali bangkit dan mulai membangun untuk kemakmuran Aceh dan demi Kemakmuran Muslim Seluruh Dunia..

“Meulaboh, di sikolah kito belaboh…”

2 komentar:

SunDhe mengatakan...

Mantab banget tulisannya.
Ne kan sejarah kota kelahiran Dhe
Dhe dilahirkan dan Dibesarkan di Meulaboh :D

*salam kenal

Anonim mengatakan...

ayooiik,, lai sabana nyo tu tuan. (beneran tu mas) yg org mrulaboh juga' trims salam kenal dunsanak