Senin, 29 Maret 2010

Telusur Jakarta, Peninggalan Sejarah di tengah Peradaban Metropolitan

Sebenarnya perjalanan ini sudah lama saya lakukan, lama banget sih nggak, masih teringat kemana saja tempat-tempat yang saya kunjungi bersama teman seperjuangan dan seingintahuan dan sepengenbanget kunjungi kota tua Jakarta.. Saudara Ridho Bustami, sang Guide, yang menurut cerita doski, adalah pemuda asli Betawi, yang punya sejarah panjang hidupnya dari Daratan Hindustan, Tanah Rencong sampai Minangkabau… Saking Ber-Bhineka Tunggal Ika nya ini temen, berdampak pada ber-bhineka tunggal ika nya koleksi barang-barang yang dipunyai, yang tersusun ‘rapi’ baik di Raflesia Milano Sukabirus 39 A kamar 115, maupun di rumah kontrakan Adhiyaksa 4 nomor gak jelas, dan di Jalan Biak Jakarta Pusat…. Kedua adalah Muhammad Idris, Sang Kameramen, yang juga punya garis keturunan sangat panjang bertitel Raden dan Syarif yang nauzubile panjangnya. OK, cukup perkenalanannya, toh sepanjang apa pun cerita, kita tetap pemuda yang pada hari itu adalah pemuda yang rela merasakan panasnya Jakarta, demi mengenal lebih jauh masa lalu dan sejarah Ibukota Republik Indonesia, Sejarah Kota Tua Jakarta..






Berangkat dari Stasiun Hall Bandung, sambil menunggu Idris datang yang dari nadanya di telpon baru bangun tidur, langsung tancap gas ke Stasiun untuk sama-sama berangkat ke Jakarta. Sementara Ridho Bustami menunggu kita di Jakarta. Konsep Awal petualangan ini sebenarnya sangat Ekslusif, mengunjungi Istana Negara.. ya, istana tempat tinggal orang nomor 1 Indonesia. Tapi apa daya, karena sebuah celana bernama Jins, kami diusir pada saat berada pas, di depan pintu metal detector Istana Negara… Meskipun beberapa minggu kemudian, dengan alasan Harga Diri, saya dan Ridho Bustami akhirnya berhasil masuk ke Istana Negara dan Berfoto di depannya, hhe….





Sampai di Jakarta, dengan menumpang bayar metro mini, kita berdua sampai di Jalan Biak dan singgah di rumah Ridho, gak susah mencari rumahnya, daerahnya sangat terkenal dengan Stadion VHJ peninggalan Belanda. Orang-orang pasti tau.. sebenarnya ada satu orang lagi nih yang layak ikut petualangan kali ini, tapi dianya sok sibuk gitu deh, Rizki Ardiansyah. Biasanya ni bocah semangat banget kalo petualang, tapi kali ini ogah-ogahan.. so, nikmati aja ceritanya jack.. sambil naik ontel.. :)

Kunjungan pertama yang kita datangin adalah pelabuhan Sunda Kelapa, Pelabuhan Sunda Kelapa yang berada di utara Jakarta ini sudah dikenal sejak abad ke-12. Kala itu, pelabuhan Sunda Kelapa ini adalah pelabuhan terpenting bagi Kerajaan Padjajaran. Banyak kapal layar niaga dari berbagai bangsa membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, anggur, dan lain-lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Setelah masuknya Islam dan penjelajah dari bangsa Eropa, Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi rebutan. Hingga akhirnya, Pemerintah Belanda menguasai Pelabuhan Sunda Kelapa kurang lebih selama 300 tahun. Pada awal Pelabuhan Sunda Kelapa dikuasai Belanda, pelabuhan ini dibangun dengan kanal sepanjang 810 meter. Kemudian pada tahun 1817, Pemerintah Belanda memperbesarnya menjadi 1.825 meter.





Setelah Indonesia merdeka, Pelabuhan Sunda Kelapa mengalami perubahan. Saat ini Pelabuhan Sunda Kelapa memiliki luas 760 hektar, ditambah dengan luas perairan 16.470 hektar yang terbagi menjadi dua, yaitu pelabuhan utama dan pelabuhan Kalibaru. Pelabuhan utama memiliki panjang 3.250 meter dan dapat menampung 70 perahu layar. Sedangkan pelabuhan Kalibaru memiliki panjang 750 meter dan mampu menampung kurang lebih 65 kapal antar pulau.



Di perjalanan pulang dari sunda kelapa, kita singgah di Museum Bahari. Museum Maritim yang memamerkan berbagai benda peninggalan VOC Belanda pada zaman dahulu dalam bentuk model atau replika kecil, photo, lukisan serta berbagai model perahu tradisional, perahu asli, alat navigasi, kepelabuhan serta benda lainnya yang berhubungan dengan kebaharian Indonesia. Museum ini mencoba menggambarkan kepada para pengunjungnya mengenai tradisi melaut nenek moyang Bangsa Indonesia dan juga pentingnya laut bagi perekonomian Bangsa Indonesia dari dulu hingga kini.



Museum ini juga memiliki berbagai model kapal penangkap ikan dari berbagai pelosok Indonesia termasuk juga jangkar batu dari beberapa tempat, mesin uap modern dan juga kapal Pinisi (kapal phinisi Nusantara) dari suku Bugis (Sulawesi Selatan) yang kini menjadi salah satu kapal layar terkenal di dunia.

Setelah puas berfoto-foto ria di Pelabuhan Sunda Kelapa dan sekitarnya, kita kembali pulang, melewati jalan kalibesar. Kalibesar merupakan nama jalan di daerah Jakarta Utara. Letaknya tidak jauh dari Museum Sejarah Jakarta. Dengan berjalan kaki dari Museum Sejarah Jakarta, kita hanya membutuhkan waktu lima menit saja untuk mencapai jalan Kalibesar ini.



Dulu pada abad ke-17, Jalan Kalibesar terkenal sebagai daerah pusat bisnis perdagangan yang cukup terkenal dan bergengsi. Jalan Kalibesar ini biasa disebut Grootegracht yang artinya kali besar, karena di jalan tersebut terdapat kali yang diapit jalan dan bangunan. Selain pusat bisnis perdagangan, di Jalan Kalibesar juga banyak terdapat rumah penduduk Cina. Kali itu sendiri menjadi jalur lalu lintas kapal bongkar muat barang. Hingga akhirnya pada tahun 1740, terjadi kerusuhan di Jalan Kalibesar dan banyak rumah penduduk dibakar. Pada tahun 1870, Jalan Kalibesar dibangun kembali.



Di Jalan Kalibesar terdapat bangunan berlantai dua dan berwarna merah. Nggak heran kalau bangunan ini disebut Toko Merah. Bangunan ini sangat terkenal pada zaman dulu karena pernah ditinggali oleh beberapa Gubernur Jenderal VOC. Saat ini bangunan Toko Merah masih berdiri kokoh dan digunakan sebagai perkantoran. Letaknya di Jalan Kalibesar nomor 7, bila ditelusuri 100 meter dari samping kanan museum wayang maka akan tembus ke jalan ini. Toko merah dibangun tahun 1730 sebagai tempat tinggal Gubernur Jendral James Baron Gustaff Van Inhoff (gak terbayang bacanya gimana). Pada tahun 1787-1808 gedung ini difungksikan sebagai guess house dan sebelum perang dunia kedua direnovasi oleh Bank Voor Indies.



Selain Toko Merah, di Jalan Kalibesar juga terdapat jembatan gantung yang diberi nama Jembatan Kota Intan. Jembatan yang dibangun pada tahun 1628 ini bisa diangkat dan diturunkan apabila ada kapal atau perahu yang lewat. Jembatan Kota Intan dilengkapi pengungkit untuk menaikkan sisi bawah jembatan. Apabila ada kapal atau perahu yang lewat, maka penjaga jembatan akan segera menarik pengungkit jembatan tersebut. Sekarang jembatan tersebut tidak bisa digunakan lagi karena umurnya yang sudah tua.



Diseberang kiri jembatan ada Hotel Batavia, yang menurut cerita adalah hotel termegah di jamannya. Struktur bangunan hampir sama dengan Stasiun Kota dan Kantor Pos Pasar Baru terutama dinding depannya yang setengah lingkaran. Didepanya terbentang kali Ciliwung dimana banyak kapal melintas jembatan yang bias naik turun ini menjadi pemandangan langka dan menarik bagi tamu hotel.



Ada pula Stasiun Kota bernama BEOS, kepanjangan dari Batavia En Oud Straken yang artinya lebih kurang gini: Batavia dan Sekitarnya, hhe. Dibangun pada awal abad 20, saat ini Batavia sedang menjadi suatu kota yang berkembang yang sekarang menjadi Jakarta Kota daerah bisnis ekslusif. Bangunan itu berkarakter Eropa Art Deco Style, dimana merupakan cirri khas bangunan pada awal abad 20 yang didesain oleh Ir Frans Johan Lourens Ghijsels

Yang penting jangan pernah ketinggalan adalah Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah). Dulu, Museum Sejarah Jakarta merupakan Balai kota, yang dalam bahasa Belandanya disebut Staadhuis. Bangunan ini dibangun dari tahun 1707 hingga tahun 1710. Pada tahun 1970 bangunan ini direnovasi dan kemudian diresmikan pada tahun 1974 menjadi Museum Sejarah Jakarta.



Selain menjadi Balai kota, bangunan ini juga berfungsi sebagai Dewan Kotapraja atau College van Schepen. Dewan ini adalah dewan yang menangani perkara pidana dan perdata warga kota Batavia. Terdakwa yang akan diadili, terlebih dahulu mendekam di penjara yang berada di bawah tanah. Bagi yang terbukti melakukan kejahatan dan memberontak kepada Pemerintah Belanda akan mendapat hukuman gantung. Saat eksekusi hukuman gantung berlangsung, masyarakat sekitar diundang ke depan Staadhuis dengan cara membunyikan lonceng yang terdapat di atas bangunan. Hingga saat ini lonceng tersebut masih ada.





Bangunan Museum Sejarah terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat. Bangunan berlantai dua ini juga banyak menyimpan koleksi benda-benda peninggalan yang menggambarkan perkembangan Jakarta dari mulai zaman pra-sejarah hingga kini. Ada mata uang zaman VOC, perabotan rumah tangga seperti furnitur dari abad 17-19, meriam kuno, bendera zaman Fatahillah, lukisan-lukisan Raden Saleh, serta potret Gubernur Jenderal VOC.

Di sekelilingnya ada beberapa museum, yaitu Museum Wayang, dibangun diatas tanah bekas gereja belanda lama (1640-1732) yang rusak akibat gempa. Bagian depan museum ini dibangun dengan gaya Neo Renaissance. Pas kita masuk, kita dilarang foto-foto di museum ini, takut kelihatan macam-macam mungkin, tapi ya namanya alis, gak ada tempat yang tidak boleh di photo, kecuali kamar mandi orang lain, hhe. Trus ada museum keramik, yang merupakan ruang pameran dari para seniman lukis terkemuka Indonesia. Trus meseum tekstil dan beberapa bangunan tua disini, pas kita mampir, ada pasangan yang lagi ambil foto prewedding disini, mungkin temanya adalah klasikal, tapi apa gak kuno banget yak, hhe… namanya aja seni, tak ada kadarluarsa dalam seni…

Ada juga museum Bank Mandiri, Museum yang menempati area seluas 10.039 m2 ini pada awalnya adalah gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia yang merupakan perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang perbankan.



Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) dinasionalisasi pada tahun 1960 menjadi salah satu gedung kantor Bank Koperasi Tani & Nelayan (BKTN) Urusan Ekspor Impor. Kemudian bersamaan dengan lahirnya Bank Ekspor Impor Indonesia (BankExim) pada 31 Desember 1968, gedung tersebut pun beralih menjadi kantor pusat Bank Export import (Bank Exim), hingga akhirnya legal merger Bank Exim bersama Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) ke dalam Bank Mandiri (1999), maka gedung tersebut pun menjadi asset Bank Mandiri.

Koleksi museum terdiri dari berbagai macam koleksi yang terkait dengan aktivitas perbankan "tempo doeloe" dan perkembangannya, koleksi yang dimiliki mulai dari perlengkapan operasional bank, surat berharga, mata uang kuno (numismatik), brandkast, dan lain-lain. Disamping Museum Bank Mandiri, ada Museum Bank Indonesia yang merupakan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang beraliran neo-klasikal, dipadu dengan pengaruh lokal, dan dibangun pertama kali pada tahun 1828.

Museum ini menyajikan informasi peran Bank Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa yang dimulai sejak sebelum kedatangan bangsa barat di Nusantara hingga terbentuknya Bank Indonesia pada tahun 1953 dan kebijakan-kebijakan Bank Indonesia, meliputi pula latar belakang dan dampak kebijakan Bank Indonesia bagi masyarakat sampai dengan tahun 2005. Penyajiannya dikemas sedemikian rupa dengan memanfaatkan teknologi modern dan multi media, seperti display elektronik, panel statik, televisi plasma, dan diorama sehingga menciptakan kenyamanan pengunjung dalam menikmati Museum Bank Indonesia. Selain itu terdapat pula fakta dan koleksi benda bersejarah pada masa sebelum terbentuknya Bank Indonesia, seperti pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara, antara lain berupa koleksi uang numismatik yang ditampilkan juga secara menarik.

Koleksi perlengkapan operasional bank "tempo doeloe" yang unik, antara lain adalah peti uang, mesin hitung uang mekanik, kalkulator, mesin pembukuan, mesin cetak, alat pres bendel, seal press, safe deposit box maupun aneka surat berharga seperti bilyet deposito, sertikat deposito, cek, obligasi, dan saham. Di samping itu, ornamen bangunan, interior dan furniture musuem ini masih asli seperti ketika didirikan.

Sebenarnya ada satu lagi museum nasional yang patut dikunjungi, tapi pas perjalanan kali ini tidak kita kunjungi, karena sudah pernah saya masuk, yaitu Museum Nasional atau Museum Gajah, Museum Nasional Republik Indonesia adalah salah satu wujud pengaruh Eropa, terutama semangat Abad Pencerahan, yang muncul pada sekitar abad 18.



Gedung ini dibangun pada tahun 1862 oleh Pemerintah Belanda di bawah Gubernur-Jendral JCM Radermacher sebagai respons adanya perhimpunan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang bertujuan menelaah riset-riset ilmiah di Hindia Belanda. Museum ini diresmikan pada tahun 1868, tapi secara institusi cikal bakal Museum ini lahir tahun 1778, saat pembentukan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen oleh pemerintah Belanda.

Museum Nasional dikenal sebagai Museum Gajah sejak dihadiahkannya patung gajah oleh Raja Chulalongkorn dari Thailand pada 1871. Tetapi pada 28 Mei 1979, namanya resmi menjadi Museum Nasional Republik Indonesia. Kemudian pada 17 Februari 1962, Lembaga Kebudayaan Indonesia yang mengelolanya, menyerahkan Museum kepada pemerintah Republik Indonesia. Sejak itu pengelolaan museum resmi oleh Direktorat Jendral Sejarah dan Arkeologi, di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi mulai tahun 2005, Museum Nasional berada di bawah pengelolaan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.





Setelah puas berkeliling di kota tua (sebenarnya belum puas, karena saya gak bisa menaiki speda ontel yang jadi ciri khas kota tua tua dan wisata ini, soalnya rame banget yang make, malas ngantrinya), kita berlanjut ke jalan gajah mada, setelah minum minuman khas betawi, apa gitu namanya (kasi tau do…!!!), kita ke jalan Gajah Mada, harusnya ada Gedung Arsip Nasional, tapi pas kita dating, katanya gedung udah dipindah kea rah Ciputat, tauk deh bener kagaknya. Menurut sejarah yang kit abaca, gedung ini dibangun pada tahun 1760 oleh gubernur jendral Rainer de Kerk sebagai tempat tinggalnya. Setelah beberapa kali pergantian pemilik pada tahun 1918 gedung ini dibeli oleh konglomerat yang bernama leendart Miero dan diambil oleh pemerintah Belanda sebagai kantor Perdagangan pada tahun 1900, trus tahun 1925 di alih fungsikan menjadi Gedung Arsip Nasional Belanda Indonesia.



Di jalan gajah mada pun ada ada yang namanya Candranaya, yang merupakan salah satu peninggalan rumah cina terbesar di Batavia pada abad ke 19. Tempat ini ceritanya adalah tempat hunian ekslusif orang-orang china yang menetap di Batavia yang disebut dengan Molenvielt.

Perjalanan berlanjut di tempat-tempat ibadahnya warga muslim di Jakarta, ada Mesjid Kebon Jeruk, dibangun pada tahun 1817 dan Mesjid Angke yang dulunya dikenal dengan nama Mesjid Al Anwar. Mesjid ini dibangun pada tahun 1751, struktur bangunannya mirip mesjid Agung Demak. Ada pula Klenteng yang digunakan oleh orang China untuk Ibadah, trus gak lupa pula ada Gereja Sion, gereja yang pertama kali dibangun pada abad ke 16, sebelumnya gereja ini bernama De Niene portugueche Buiten Kerk, gereja ini dibangun oleh orang-orang Formusha Taiwan dengan gaya arsitektur Portugis.

Perjalanan berlanjut ke jalan proklamasi, ditempat ini dengan bangga saya jelaskan bahwa, saya berdiri pas di atas mimbar Presiden Soekarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, hiks hiks, jadi terharu. Timbul lagi rasa nasionalisme yang sempat hilang. Tempat ini semula ada rumah Soekarno, tapi kemudian sekarang sudah menjadi taman dan di hiasi dengan patung 2 proklamator Indonesia, hanya sampai segitu aja Pemerintah menghargai jasa pahlawannya? Hanya dengan Patung? Huh…







Kita berlanjut ke Gedung Juang 45 di Menteng, tempat para pemuda dan tetua biasany berembuk untuk mempersiapkan kemerdekaan, di dalam museum ini sangat banyak peninggalan masa kemerdekaan dan aklamasi perjuangan kemerdekaan yang divisualisasikan dengan patung-patung dan tulisan. Keren deh masuk ke Rumah Juang ini, atau Museum Menteng.





Setelah Shalat ashar di Mesjid Cut Meutia(yang kiblatnya miring karena beda dengan struktur bangunan), kita ke Jalan Cendana, berfoto di ujung jalan tempat kediamannya mantan presiden Soeharto, trus ke arah rumahnya Megawati, dan mampir di bekas rumahnya AH Nasution yang kini sudah dijadikan museum AH Nasution. Di museum ini divisualisasikan kejadian G 30 S PKI di rumah Nasution, lengkap dengan kejadian Ade Irma Suryani yang tertembak serta AH Nasution yang lari. Bentuk visualisasi ini digambarkan dengan sketsa patung-patung per ruangan.









Perjalanan berakhir, enak juga menjelajahi sejarah kota terbesar di Indonesia ini, Jakarta. Karena image kota Metropolitannya, Jakarta sudah seperti tidak menghargai sejarah, mungkin tidak banyak masyarakat Jakarta yang peduli dengan sejarahnya.. tapi petualangan kali ini sangat member arti bahwa tiap kota punya sejarah dan perkembangannya masing-masing. Telusur Jakarta berakhir, wisata sejarah di tengah peradaban metropolitan

Senin, 22 Maret 2010

Backpacker Adventures to Pangandaran...

Firts Day, June 6th 2009

Dimulai dari pembicaraan di Yahoo Messanger antara Alis dan Ridho Bustami, teman senasib dan seperjuangan sesama backpacker gila, ide untuk melepas penat dari kerja dan kuliah keluar untuk mengunjungi tempat baru yang belum pernah kami jelajahi, yaitu: Pangandaran. Persiapan dimulai dengan observasi alternatif transportrasi, akomodasi di sana, dan objek wisata apa saja yang bisa dikunjungi, dan tentunya dengan modal mental dan duit seadanya. Akhirnya realisasi rencana diapprove jumat sore ditandai dengan tema: “Grand Canyon, I’m Coming”…

Lho? Kok temanya Grand Canyon? Karena memang awalnya ide ini muncul karena kami melihat di blog teman-teman backpacker lainnya yang telah ke Pangandaran dan mengunjungi sebuah tempat yang sangat menakjubkan, orang disana lebih senang menyebutnya “ GRAND CANYON ” nya Indonesia. Tapi gak seru lah kalo alis langsung ceritain asiknya pemandangan disana, gimana indahnya pantai selatan Jawa, masak mie dan buat teh dipinggir pantai dan tidur di penginapan yang bisa ditawar harga sewanya..












Perjalanan kali ini dimulai dari terminal Cicaheum di Bandung, awalnya kita pengen ketemuan di Pangandaran langsung, karena Ridho berangkat dari Jakarta. Tapi karena ternyata ada transportrasi dari Bandung ke Pangandaran sampai tengah malam, Ridho berencana dari Jakarta ke Bandung dulu dan kita ketemuan di Bandung. Bus yang berangkat ke Pangandaran alternatifnya banyak, ada yang langsung namanya Budiman (Rp 32.000 yang non AC, Rp 35.000 yang AC), disarankan untuk berangkat ke Pangandaran malam, karena selain bisa tidur gratis (hhe..), kita gak banyak makan waktu perjalanan dan insya Allah pagi udah sampai ke Pangandaran. Bus Budiman itu paling telat adanya jam 15.00. Ada alternatif lain, yaitu naik Bus Harum ke arah Purwokerto (Rp 25.000, ini harga nawar dari harga aslinya Rp 28.000) dan turun di kota Banjar. Nah kita naik ini karena cuma Bus ini yang punya jadwal sampai jam 12 malam.

Tepat jam 00.30 waktu bandung sabtu dini hari, kita berangkat dari Bandung, perjalanan ke kota Banjar lancar, dengan Bus yang seadanya (Seadanya dalam artian fasilitas, dan mesin yang aduhai bunyinya) kita sampai di Ciamis itu jam 04.00 untuk ngisi bensin, jam 05.00 kurang dikit, kita udah tiba di Banjar dan melanjutkan Bus ¾ ke arah Cijulang yang berasal dari Tasik (tarifnya Rp 55.000/2 orang. Sama, hasil nawar-nawar juga). Jam 07.00 kita tiba di Pangandaran, tapi seperti di mukadimah tadi, tujuan utama kita bukan pantai Pangandaran, kita akan ke Grand Canyon.







Perjalanan berlanjut ke Cijulang (masih dengan Bus yang sama), sampai disana kita makan pagi dulu, perhatian untuk yang pergi dengan bus, jangan pernah berpetualang dengan perut kosong, biar gak masuk angin saat perjalanan sekalian membantu warga sekitar dengan membeli hasil jerih payah mereka menyediakan makanan, hhe.

Nah, dari Cijulang ada alternatif untuk naek angkot (nunggunya lama, tarifnya mungkin Rp 5000) dan naek ojek (nego-nego 2 motor Rp 15.000). Jadi kita putuskan untuk naek ojek, selain karena lebih cepat, perjalanan dengan menggunakan media transportrasi berbeda akan memberi nilai lebih dalam setiap perjalanan backpacking. Oia jangan lupa juga untuk mempersiapkan kamera (terutama batere dan memorinya) juga duit di Cijulang, karena ini kota terakhir (kayak apa gitu…) yang layak untuk charge HP dan kamera, juga ambil duit di ATM.







Sampai di Grand Canyon, jam 9.00 pagi, suasana masih sepi, makin sepi makin bagus, biar terasa alaminya. Sewa Perahu disini Rp 75.000, nah karena kita cuma berdua, lebih baik tungguin orang lain lagi untuk kita bisa join, jadi patungannya lebih murah, gak lama, kita jumpa dan kenalan dengan Mbak Ana dan Adiknya. Setelah berbincang bincang, kita setuju untuk join-an perahu. Perajalanan dimulai dengan ekspedisi sungai-sungai diantara hutan-hutan dan mata air alami, perjalanan perahu perahu berakhir di sebuah objek wisata nan indah dengan kumpulan curam dan tebing-tebing yang masya Allah indahnya, dengan dihiasi rembesan air terjun dan pesona air mengalir dengan derasnya membuat kita terkagum, kagum. Perbanyaklah foto-foto disini, karena memang indah banget. Kalo arusnya gak kuat, kita bisa masuk ke dalam lagi untuk menelusuri gua-gua dan berenang melawan arus, tapi pada saat itu arusnya sangat kuat, baru hujan semalam, akhirnya kita putuskan untuk melepas baju dan memakai pelampung untuk berenang dan terjun dalam sungai yang dalamnya lebih kurang 2-3 meter. Sambil menikmati arus sungai yang membawa kita, kita juga bisa mampir di batu karang untuk kata orang sana “sashoweran” yang artinya mandi shower.

Oke, tujuan utama perjalanan udah terealisasi, sekarang kita memutuskan untuk berlanjut ke Batu Karas, perjalanan menggunakan Ojek (Rp 10.000/motor) lebih kurang 6 km, kita bisa menikmati suasana pedesaan yang bercirikan rumah adem dengan halamannya yang luas, pohon2 gede dan ditambah dengan barisan sawah masyarakat serta sungai yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar. Sampai di Batu Karas (sebuah pantai yang biasanya dipakai untuk Surfing), kita gelar Sleeping Bag, keluarkan kompor parafin, Pop Mie, Teh dan merasakan nikmatnya jadi Backpacker duduk di pinggir pantai sambil masak air dan mie serta saling gantiin jaga peralatan untuk mandi laut disarankan untuk mandi, karena nikmat banget laut disini, ombaknya lumayan gede, makanya banyak yang surving disini). Habis makan, siap-siap dan kumpulkan sampah prinsip petualang: jangan pernah meninggalkan sampah sembarangan pada tiap tujuan kita) dianjurkan banget untuk menyusuri batu-batu karang hasil kikisan ombak pantai selatan, dan jalanlah sejauh anda bisa menjelajahi karang-karang itu, karena makin jauh, pemandangan makin keren dengan hempasan ombak dan tajamnya karang tempat kita berpijak dan berpegangan. Lalu kemudian, jangan lupa juga untuk menyusuri bukit di atas karang itu, karena dari sini, kita bisa ngeliat pemandangan cakrawala yang indah kalo cuacanya cerah), masuk terus ke hutan-hutannya selagi masih ada jalan untuk ditempuh, karena makin keren pemandangan disini.







Lepas dari Batu Karas, jam 1.30 siang kita memutuskan untuk nginap di Pangandaran. Memulai perjalanan dengan Ojek lagi kembali ke Cijulang (Rp 15.000/2 orang, lagi-lagi nawar…), minta kepada tukang Ojek untuk melewati jalan kompas (orang sana nyebutnya gitu) yang akan melewati jembatan gantung (jembatan yang terbuat dari bambu dan udah berdiri puluhan tahun) biar perjalanan kita melewati 2 arah yang beda, biar makin banyak taunya.

Dari Cijulang, naik Bus ¾ ke arah Pangandaran (Rp 5.000/orang, gak bisa nawar lagi, udah murah banget nih), jam 2.30 siang kita tiba di Pangandaran dan istirahat di Mesjid Al Istiqamah Pangandaran untuk mandi, cuci muka, sikat gigi, keringkan pakaian dan pastinya Shalat (jangan pernah tinggal yang satu ini, tapi kalo capek banget, kadang lupa juga, hhe). Setelah shalat Zuhur dan Ashar di jama’ kita berlanjut ke Pantai Pangandaran. Setelah makan siang dan bertanya-tanya tentang penginapan dan perjalanan ke pantai, kita memutuskan untuk berjalan kaki ke pantai dan akan mencari penginapan disana jam 3.30. (pelajaran berharga petualangan ini adalah jangan merencanakan penginapan jauh hari, nikmati ketidakpastian dalam petualangan)







Dari terminal Pangandaran ke bibir pantai lebih kurang 2 km, kita jalan (maap abang becak yang nawarin kita untuk naek becak, kita gak punya uang untuk naek becak, hhe). Sebenarnya masuk kesini harus bayar, Rp 2.500/orang untuk pejalan kaki, untuk mobil lebih mahal lagi. Tapi dengan tampang bloon dan muka iba, kita jalan terus melewati pos penjagaan dan masuk gratis. Siap2 aja untuk didatengin orang2 yang nawarin penginapan murah dan kalo beruntung, ada yang nawarin “servis tambahan” (sensored).

Lebih baik, tiba di Pantai pangandaran jelajahi tiap jejak bibir pantai, perjalanan lebih kurang 3 km, kita jalan kaki di bibir pantai, sambil foto-foto dan makan kue pancong. Sampai jam 5.30 sore, kita jumpa lagi dengan Mbak Ana dan dia menawarkan penginapan yang awalnya Rp 75.000/malam kita tawar jadi Rp 50.000/malam (disarankan untuk membawa orang yang pande nawar dalam tiap perjalanan). Jam 6 sore tiba di penginapan, mandi, shalat dan charge HP, kiat berencana untuk keluar lagi ke pantai selatan di malam hari, tapi apa daya, perjalanan hari ini sangat melelahkan, dan kita langsung tertidur pulas dari waktu Isya ke Subuh, sambil mimpi yang enak-enak dan persiapkan stamina untuk perjalanan menakjubkan esok hari..







2nd Day, June 7th 2009

Hari kedua, bangun jam 5 subuh, setelah shalat kita keluar ke pantai timur Pangandaran, pantai yang sudah dibuat pemecah ombaknya ini tempat yang sangat bagus melihat matahari terbit dan merasakan dinginnya pantai. Pantai ini dulunya pernah menyatu dengan pantai barat pas tsunami terjadi tahun 2006, dan pantai ini kalo cuacanya cerah kita bisa melihat pulau Nusakambangan, tempat bernaungnya orang-orang paling “baik” se-Indonesia. Jam 6 kita memutuskan untuk kembali ke penginapan, dan berkemas-kemas serta sarapan mie goreng masak sendiri di kamar, buat kopi Torabika Capuccino dan teh tubruk (lha?), juga jemur kain. Jam 8 kita pamit dari empunya penginapan dengan 1 kamar mandi dan 1 tempat tidur gede itu, setelah minta contact personnya (pesan juga untuk petualang: jangan pernah meninggalkan tujuan wisata tanpa meminta nomor HP orang-orang sekitar, selain untuk membangun koneksi di perjalanan berikutnya yang mungkin juga akan kemari, mana tau dapat jodoh, hha)







Di pangandaran ini sangat banyak pasar seni yang menjual barang-barang seni untuk oleh-oleh, berhubung kita kemari bukan untuk tamasya, juga uang yang pas-pasan, kita gak beli selain aqua dan mizone (bukan maksud iklan, tapi minuman ini lumayan penting untuk menjaga kondisi tubuh dalam tiap perjalanan). Jam 9 kita merealisasikan rencana kemarin dengan mbak Ana untuk menyusuri Cagar Alam Cijuang Pananjung (HTM Rp 5.500/orang). Ada dua alternatif, perjalanan kali ini bisa dimulai dengan naik perahu ke pasir putih dan lalu menyusuri Cagar, atau yang kedua bisa menyusuri Cagar dulu untuk kemudian pulang dari pasir putih naik perahu. Disarankan untuk meminta lebih kepada pemandunya (bayar Pemandunya Rp 75.000 + sewa senter) ke tempat Taman Nasional Lapangan Banteng, pemandangannya indah banget dengan hamparan rumput luas dan hutan serta dikelilingi gunung dan dimanjakan dengan pemandangan laut dari atas bukit kalo kita naik agak tinggi lagi (lebih kurang 20 mdpl).

Perjalanan kali ini lebih kepada Caving Tour, ada 7 tujuan wisata di cagar alam ini, perjalanan disambut oleh monyet (oia, hati-hati monyet disini suka nyolong HP dan Kamera lho), Cagar alam ini punya suhu 25-30 derajat dengan kelembaban 80%-90 %. Tujuan awal dari perjalanan kali ini adalah Gua Jepang, dengan arsitektur yang rendah sesuai dengan postur orang Jepang), Gua ini adalah hasil kerja romusha yang menggali gua dengan pahatan tangan, di gua ini kita bisa liat staklatit yang udah berumur puluhan tahun yang tiap tahun bertambah beberapa cm, jadi yang pengen kesana, jangan tunggu sampai 100 tahun lagi, takutnya udah nutupin jalan itu staklatit. Gua ini juga pernah dijadikan tempat dari acara Uka-Uka karena dulu banyak tawanan Jepang disiksa dan dibunuh disini.







Tujuan berikutnya adalah tempat pemandian Dewi Rengganis, peninggalan kerajaan Hindu pada masa kerajaan Galuh Pangoan sebelum Pangandaran masuk penyebaran Islam. Yang nyebarin Islam disini ada 2 Kyai, yang makamnya terletak disini juga. Disini juga diceritain kalo kata Pangandaran berasal dari 2 kata = Pangan (Makan) Daran Pendatang), jadi pangandaran adalah tempat makan dan mata pencaharian orang-orang pendatang yang menyediakan jasanya untuk pariwisata. Ada juga yang bilang kalo Pangan (makan) Daran (kuda), karena rata-rata orang disini adalah nelayan, jadi mereka makannya kayak kuda yang banyak dan cepat. Itu menurut cerita orang-orang sana.

Perjalanan berikutnya adalah Gua Panggung, sesuai namanya Gua ini berbentuk Panggung yang terdiri dari bebatuan stalaktit yang berumur ratusan tahun dan karang karena kikisan ombak laut, ada juga yang menjadikan tempat ini sebagai tempat semedi, terlepas dari kepercayaan apa aja yang ada disini, setidaknya kita udah nyampe disini. Perjalanan berlajut ke Gua Parat (Gua tembus) karena memang Gua ini punya jalan tembus dari satu sisi ke sisi lainnya di bukit yang sama dan gua ini sangat luas dan panjang. Dalam Gua ini ada Stalaknit dan Stalagmit yang berbetuk seperti organ kewanitaan yang berada disamping organ keperjakaan (ada ada aja), disini juga kita bisa ngeliat Landak dan beberapa inventaris tempat syuting film-filmnya Mak Lampir dan Nyi Roro Kidul, setelah itu kita akan ke Gua miring, lalu ke Gua Lanang (Gua Mak Lampir), dulu katanya Film Horor Indonesia banyak yang syuting dan ambil gambar disini, karena memang tempatnya yang keren dan masih alami banget.







Setalah Caving Tour, kita akan diajak naik turun gunung ke Lapangan Banteng, tempat ini adalah hamparan rumput, pohon, dan tumbuhan jati. Dari sini kita bisa melihat laut pangandaran dari atas gunung, perjalanan berlanjutnya turun gunung (hati-hati terhadap tanah licin), dan akan sampai ke Pasir Putih (jam 11 pagi), pasir yang masih banyak terumbu karangnya, dan airnya juga bersih, kalo mau menyelam, disewa peralatan menyelam Rp 15.000, tapi hati-hati dengan karangnya. Karena kita udah merencanakan pulang sore ini ke bandung, jadi kita mesti menyudahi perjalanan kali ini dengan naik perahu dari pasir putih ke pantai Barat Pangandaran (Rp 5000/orang), minta kepada tukang perahunya untuk liat liat terumbu karang yang ada di laut agak jauh (cantik banget terumbu karang diliat dari perahunya.

Sampai di Pangandaran, kita makan dulu, di warung Padang, warung milik rakyat Indonesia. Lumayan murah makan di Pangandaran untuk ukuran Keluarga, tapi untuk ukuran kita, rada mahal sih. Dari pantai pangandaran, kita sengaja gak jalan kaki (padahal gak sanggup lagi) untuk naik becak menyusuri perkampungan dan Pasar Seni dan Wisata Pangandaran sambil berbincang-bincang dengan tukang becak tentang Pangandaran, kita juga akan melihat deretan Café-Café yang siap melayani anda untuk beristirahat. Sampai di Terminal Pangandaran, kita pesan Bus, ada banyak alternatif, mau yang ke Bandung langsung (ada yang jam 2 siang dan 3 siang), ada yang ke Jakarta (Kalideres) naik Bus Merdeka dan Bekasi serta Tangerang (Bus Budiman).

Ok, perjalanan pulang kita akhirnya memakai Bus Budiman yang memakan waktu lebih kurang 6 jam, karena ada macet di daerah Nagrek (tanjakan Nagrek), sampai jam 11.30 di Terminal Cicaheum Bandung, kita udah istitahat di Bus, dan kembali ke kos untuk istirahat hingga besok kembali kepada rutinitas kembali kerja dan kuliah.. si Ridho kembali ke Jakarta, dan saya kembali di Bandung







Saran Penting dan saya jadiin prinsip: Tetaplah Berpetualang selagi Dunia masih Berputar….. :)