Senin, 29 Maret 2010

Telusur Jakarta, Peninggalan Sejarah di tengah Peradaban Metropolitan

Sebenarnya perjalanan ini sudah lama saya lakukan, lama banget sih nggak, masih teringat kemana saja tempat-tempat yang saya kunjungi bersama teman seperjuangan dan seingintahuan dan sepengenbanget kunjungi kota tua Jakarta.. Saudara Ridho Bustami, sang Guide, yang menurut cerita doski, adalah pemuda asli Betawi, yang punya sejarah panjang hidupnya dari Daratan Hindustan, Tanah Rencong sampai Minangkabau… Saking Ber-Bhineka Tunggal Ika nya ini temen, berdampak pada ber-bhineka tunggal ika nya koleksi barang-barang yang dipunyai, yang tersusun ‘rapi’ baik di Raflesia Milano Sukabirus 39 A kamar 115, maupun di rumah kontrakan Adhiyaksa 4 nomor gak jelas, dan di Jalan Biak Jakarta Pusat…. Kedua adalah Muhammad Idris, Sang Kameramen, yang juga punya garis keturunan sangat panjang bertitel Raden dan Syarif yang nauzubile panjangnya. OK, cukup perkenalanannya, toh sepanjang apa pun cerita, kita tetap pemuda yang pada hari itu adalah pemuda yang rela merasakan panasnya Jakarta, demi mengenal lebih jauh masa lalu dan sejarah Ibukota Republik Indonesia, Sejarah Kota Tua Jakarta..






Berangkat dari Stasiun Hall Bandung, sambil menunggu Idris datang yang dari nadanya di telpon baru bangun tidur, langsung tancap gas ke Stasiun untuk sama-sama berangkat ke Jakarta. Sementara Ridho Bustami menunggu kita di Jakarta. Konsep Awal petualangan ini sebenarnya sangat Ekslusif, mengunjungi Istana Negara.. ya, istana tempat tinggal orang nomor 1 Indonesia. Tapi apa daya, karena sebuah celana bernama Jins, kami diusir pada saat berada pas, di depan pintu metal detector Istana Negara… Meskipun beberapa minggu kemudian, dengan alasan Harga Diri, saya dan Ridho Bustami akhirnya berhasil masuk ke Istana Negara dan Berfoto di depannya, hhe….





Sampai di Jakarta, dengan menumpang bayar metro mini, kita berdua sampai di Jalan Biak dan singgah di rumah Ridho, gak susah mencari rumahnya, daerahnya sangat terkenal dengan Stadion VHJ peninggalan Belanda. Orang-orang pasti tau.. sebenarnya ada satu orang lagi nih yang layak ikut petualangan kali ini, tapi dianya sok sibuk gitu deh, Rizki Ardiansyah. Biasanya ni bocah semangat banget kalo petualang, tapi kali ini ogah-ogahan.. so, nikmati aja ceritanya jack.. sambil naik ontel.. :)

Kunjungan pertama yang kita datangin adalah pelabuhan Sunda Kelapa, Pelabuhan Sunda Kelapa yang berada di utara Jakarta ini sudah dikenal sejak abad ke-12. Kala itu, pelabuhan Sunda Kelapa ini adalah pelabuhan terpenting bagi Kerajaan Padjajaran. Banyak kapal layar niaga dari berbagai bangsa membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain, wangi-wangian, anggur, dan lain-lain untuk ditukarkan dengan rempah-rempah. Setelah masuknya Islam dan penjelajah dari bangsa Eropa, Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi rebutan. Hingga akhirnya, Pemerintah Belanda menguasai Pelabuhan Sunda Kelapa kurang lebih selama 300 tahun. Pada awal Pelabuhan Sunda Kelapa dikuasai Belanda, pelabuhan ini dibangun dengan kanal sepanjang 810 meter. Kemudian pada tahun 1817, Pemerintah Belanda memperbesarnya menjadi 1.825 meter.





Setelah Indonesia merdeka, Pelabuhan Sunda Kelapa mengalami perubahan. Saat ini Pelabuhan Sunda Kelapa memiliki luas 760 hektar, ditambah dengan luas perairan 16.470 hektar yang terbagi menjadi dua, yaitu pelabuhan utama dan pelabuhan Kalibaru. Pelabuhan utama memiliki panjang 3.250 meter dan dapat menampung 70 perahu layar. Sedangkan pelabuhan Kalibaru memiliki panjang 750 meter dan mampu menampung kurang lebih 65 kapal antar pulau.



Di perjalanan pulang dari sunda kelapa, kita singgah di Museum Bahari. Museum Maritim yang memamerkan berbagai benda peninggalan VOC Belanda pada zaman dahulu dalam bentuk model atau replika kecil, photo, lukisan serta berbagai model perahu tradisional, perahu asli, alat navigasi, kepelabuhan serta benda lainnya yang berhubungan dengan kebaharian Indonesia. Museum ini mencoba menggambarkan kepada para pengunjungnya mengenai tradisi melaut nenek moyang Bangsa Indonesia dan juga pentingnya laut bagi perekonomian Bangsa Indonesia dari dulu hingga kini.



Museum ini juga memiliki berbagai model kapal penangkap ikan dari berbagai pelosok Indonesia termasuk juga jangkar batu dari beberapa tempat, mesin uap modern dan juga kapal Pinisi (kapal phinisi Nusantara) dari suku Bugis (Sulawesi Selatan) yang kini menjadi salah satu kapal layar terkenal di dunia.

Setelah puas berfoto-foto ria di Pelabuhan Sunda Kelapa dan sekitarnya, kita kembali pulang, melewati jalan kalibesar. Kalibesar merupakan nama jalan di daerah Jakarta Utara. Letaknya tidak jauh dari Museum Sejarah Jakarta. Dengan berjalan kaki dari Museum Sejarah Jakarta, kita hanya membutuhkan waktu lima menit saja untuk mencapai jalan Kalibesar ini.



Dulu pada abad ke-17, Jalan Kalibesar terkenal sebagai daerah pusat bisnis perdagangan yang cukup terkenal dan bergengsi. Jalan Kalibesar ini biasa disebut Grootegracht yang artinya kali besar, karena di jalan tersebut terdapat kali yang diapit jalan dan bangunan. Selain pusat bisnis perdagangan, di Jalan Kalibesar juga banyak terdapat rumah penduduk Cina. Kali itu sendiri menjadi jalur lalu lintas kapal bongkar muat barang. Hingga akhirnya pada tahun 1740, terjadi kerusuhan di Jalan Kalibesar dan banyak rumah penduduk dibakar. Pada tahun 1870, Jalan Kalibesar dibangun kembali.



Di Jalan Kalibesar terdapat bangunan berlantai dua dan berwarna merah. Nggak heran kalau bangunan ini disebut Toko Merah. Bangunan ini sangat terkenal pada zaman dulu karena pernah ditinggali oleh beberapa Gubernur Jenderal VOC. Saat ini bangunan Toko Merah masih berdiri kokoh dan digunakan sebagai perkantoran. Letaknya di Jalan Kalibesar nomor 7, bila ditelusuri 100 meter dari samping kanan museum wayang maka akan tembus ke jalan ini. Toko merah dibangun tahun 1730 sebagai tempat tinggal Gubernur Jendral James Baron Gustaff Van Inhoff (gak terbayang bacanya gimana). Pada tahun 1787-1808 gedung ini difungksikan sebagai guess house dan sebelum perang dunia kedua direnovasi oleh Bank Voor Indies.



Selain Toko Merah, di Jalan Kalibesar juga terdapat jembatan gantung yang diberi nama Jembatan Kota Intan. Jembatan yang dibangun pada tahun 1628 ini bisa diangkat dan diturunkan apabila ada kapal atau perahu yang lewat. Jembatan Kota Intan dilengkapi pengungkit untuk menaikkan sisi bawah jembatan. Apabila ada kapal atau perahu yang lewat, maka penjaga jembatan akan segera menarik pengungkit jembatan tersebut. Sekarang jembatan tersebut tidak bisa digunakan lagi karena umurnya yang sudah tua.



Diseberang kiri jembatan ada Hotel Batavia, yang menurut cerita adalah hotel termegah di jamannya. Struktur bangunan hampir sama dengan Stasiun Kota dan Kantor Pos Pasar Baru terutama dinding depannya yang setengah lingkaran. Didepanya terbentang kali Ciliwung dimana banyak kapal melintas jembatan yang bias naik turun ini menjadi pemandangan langka dan menarik bagi tamu hotel.



Ada pula Stasiun Kota bernama BEOS, kepanjangan dari Batavia En Oud Straken yang artinya lebih kurang gini: Batavia dan Sekitarnya, hhe. Dibangun pada awal abad 20, saat ini Batavia sedang menjadi suatu kota yang berkembang yang sekarang menjadi Jakarta Kota daerah bisnis ekslusif. Bangunan itu berkarakter Eropa Art Deco Style, dimana merupakan cirri khas bangunan pada awal abad 20 yang didesain oleh Ir Frans Johan Lourens Ghijsels

Yang penting jangan pernah ketinggalan adalah Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah). Dulu, Museum Sejarah Jakarta merupakan Balai kota, yang dalam bahasa Belandanya disebut Staadhuis. Bangunan ini dibangun dari tahun 1707 hingga tahun 1710. Pada tahun 1970 bangunan ini direnovasi dan kemudian diresmikan pada tahun 1974 menjadi Museum Sejarah Jakarta.



Selain menjadi Balai kota, bangunan ini juga berfungsi sebagai Dewan Kotapraja atau College van Schepen. Dewan ini adalah dewan yang menangani perkara pidana dan perdata warga kota Batavia. Terdakwa yang akan diadili, terlebih dahulu mendekam di penjara yang berada di bawah tanah. Bagi yang terbukti melakukan kejahatan dan memberontak kepada Pemerintah Belanda akan mendapat hukuman gantung. Saat eksekusi hukuman gantung berlangsung, masyarakat sekitar diundang ke depan Staadhuis dengan cara membunyikan lonceng yang terdapat di atas bangunan. Hingga saat ini lonceng tersebut masih ada.





Bangunan Museum Sejarah terdiri atas bangunan utama dengan dua sayap di bagian timur dan barat. Bangunan berlantai dua ini juga banyak menyimpan koleksi benda-benda peninggalan yang menggambarkan perkembangan Jakarta dari mulai zaman pra-sejarah hingga kini. Ada mata uang zaman VOC, perabotan rumah tangga seperti furnitur dari abad 17-19, meriam kuno, bendera zaman Fatahillah, lukisan-lukisan Raden Saleh, serta potret Gubernur Jenderal VOC.

Di sekelilingnya ada beberapa museum, yaitu Museum Wayang, dibangun diatas tanah bekas gereja belanda lama (1640-1732) yang rusak akibat gempa. Bagian depan museum ini dibangun dengan gaya Neo Renaissance. Pas kita masuk, kita dilarang foto-foto di museum ini, takut kelihatan macam-macam mungkin, tapi ya namanya alis, gak ada tempat yang tidak boleh di photo, kecuali kamar mandi orang lain, hhe. Trus ada museum keramik, yang merupakan ruang pameran dari para seniman lukis terkemuka Indonesia. Trus meseum tekstil dan beberapa bangunan tua disini, pas kita mampir, ada pasangan yang lagi ambil foto prewedding disini, mungkin temanya adalah klasikal, tapi apa gak kuno banget yak, hhe… namanya aja seni, tak ada kadarluarsa dalam seni…

Ada juga museum Bank Mandiri, Museum yang menempati area seluas 10.039 m2 ini pada awalnya adalah gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia yang merupakan perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang perbankan.



Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) dinasionalisasi pada tahun 1960 menjadi salah satu gedung kantor Bank Koperasi Tani & Nelayan (BKTN) Urusan Ekspor Impor. Kemudian bersamaan dengan lahirnya Bank Ekspor Impor Indonesia (BankExim) pada 31 Desember 1968, gedung tersebut pun beralih menjadi kantor pusat Bank Export import (Bank Exim), hingga akhirnya legal merger Bank Exim bersama Bank Dagang Negara (BDN), Bank Bumi Daya (BBD) dan Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) ke dalam Bank Mandiri (1999), maka gedung tersebut pun menjadi asset Bank Mandiri.

Koleksi museum terdiri dari berbagai macam koleksi yang terkait dengan aktivitas perbankan "tempo doeloe" dan perkembangannya, koleksi yang dimiliki mulai dari perlengkapan operasional bank, surat berharga, mata uang kuno (numismatik), brandkast, dan lain-lain. Disamping Museum Bank Mandiri, ada Museum Bank Indonesia yang merupakan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang beraliran neo-klasikal, dipadu dengan pengaruh lokal, dan dibangun pertama kali pada tahun 1828.

Museum ini menyajikan informasi peran Bank Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa yang dimulai sejak sebelum kedatangan bangsa barat di Nusantara hingga terbentuknya Bank Indonesia pada tahun 1953 dan kebijakan-kebijakan Bank Indonesia, meliputi pula latar belakang dan dampak kebijakan Bank Indonesia bagi masyarakat sampai dengan tahun 2005. Penyajiannya dikemas sedemikian rupa dengan memanfaatkan teknologi modern dan multi media, seperti display elektronik, panel statik, televisi plasma, dan diorama sehingga menciptakan kenyamanan pengunjung dalam menikmati Museum Bank Indonesia. Selain itu terdapat pula fakta dan koleksi benda bersejarah pada masa sebelum terbentuknya Bank Indonesia, seperti pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara, antara lain berupa koleksi uang numismatik yang ditampilkan juga secara menarik.

Koleksi perlengkapan operasional bank "tempo doeloe" yang unik, antara lain adalah peti uang, mesin hitung uang mekanik, kalkulator, mesin pembukuan, mesin cetak, alat pres bendel, seal press, safe deposit box maupun aneka surat berharga seperti bilyet deposito, sertikat deposito, cek, obligasi, dan saham. Di samping itu, ornamen bangunan, interior dan furniture musuem ini masih asli seperti ketika didirikan.

Sebenarnya ada satu lagi museum nasional yang patut dikunjungi, tapi pas perjalanan kali ini tidak kita kunjungi, karena sudah pernah saya masuk, yaitu Museum Nasional atau Museum Gajah, Museum Nasional Republik Indonesia adalah salah satu wujud pengaruh Eropa, terutama semangat Abad Pencerahan, yang muncul pada sekitar abad 18.



Gedung ini dibangun pada tahun 1862 oleh Pemerintah Belanda di bawah Gubernur-Jendral JCM Radermacher sebagai respons adanya perhimpunan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang bertujuan menelaah riset-riset ilmiah di Hindia Belanda. Museum ini diresmikan pada tahun 1868, tapi secara institusi cikal bakal Museum ini lahir tahun 1778, saat pembentukan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen oleh pemerintah Belanda.

Museum Nasional dikenal sebagai Museum Gajah sejak dihadiahkannya patung gajah oleh Raja Chulalongkorn dari Thailand pada 1871. Tetapi pada 28 Mei 1979, namanya resmi menjadi Museum Nasional Republik Indonesia. Kemudian pada 17 Februari 1962, Lembaga Kebudayaan Indonesia yang mengelolanya, menyerahkan Museum kepada pemerintah Republik Indonesia. Sejak itu pengelolaan museum resmi oleh Direktorat Jendral Sejarah dan Arkeologi, di bawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tetapi mulai tahun 2005, Museum Nasional berada di bawah pengelolaan Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.





Setelah puas berkeliling di kota tua (sebenarnya belum puas, karena saya gak bisa menaiki speda ontel yang jadi ciri khas kota tua tua dan wisata ini, soalnya rame banget yang make, malas ngantrinya), kita berlanjut ke jalan gajah mada, setelah minum minuman khas betawi, apa gitu namanya (kasi tau do…!!!), kita ke jalan Gajah Mada, harusnya ada Gedung Arsip Nasional, tapi pas kita dating, katanya gedung udah dipindah kea rah Ciputat, tauk deh bener kagaknya. Menurut sejarah yang kit abaca, gedung ini dibangun pada tahun 1760 oleh gubernur jendral Rainer de Kerk sebagai tempat tinggalnya. Setelah beberapa kali pergantian pemilik pada tahun 1918 gedung ini dibeli oleh konglomerat yang bernama leendart Miero dan diambil oleh pemerintah Belanda sebagai kantor Perdagangan pada tahun 1900, trus tahun 1925 di alih fungsikan menjadi Gedung Arsip Nasional Belanda Indonesia.



Di jalan gajah mada pun ada ada yang namanya Candranaya, yang merupakan salah satu peninggalan rumah cina terbesar di Batavia pada abad ke 19. Tempat ini ceritanya adalah tempat hunian ekslusif orang-orang china yang menetap di Batavia yang disebut dengan Molenvielt.

Perjalanan berlanjut di tempat-tempat ibadahnya warga muslim di Jakarta, ada Mesjid Kebon Jeruk, dibangun pada tahun 1817 dan Mesjid Angke yang dulunya dikenal dengan nama Mesjid Al Anwar. Mesjid ini dibangun pada tahun 1751, struktur bangunannya mirip mesjid Agung Demak. Ada pula Klenteng yang digunakan oleh orang China untuk Ibadah, trus gak lupa pula ada Gereja Sion, gereja yang pertama kali dibangun pada abad ke 16, sebelumnya gereja ini bernama De Niene portugueche Buiten Kerk, gereja ini dibangun oleh orang-orang Formusha Taiwan dengan gaya arsitektur Portugis.

Perjalanan berlanjut ke jalan proklamasi, ditempat ini dengan bangga saya jelaskan bahwa, saya berdiri pas di atas mimbar Presiden Soekarno membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia, hiks hiks, jadi terharu. Timbul lagi rasa nasionalisme yang sempat hilang. Tempat ini semula ada rumah Soekarno, tapi kemudian sekarang sudah menjadi taman dan di hiasi dengan patung 2 proklamator Indonesia, hanya sampai segitu aja Pemerintah menghargai jasa pahlawannya? Hanya dengan Patung? Huh…







Kita berlanjut ke Gedung Juang 45 di Menteng, tempat para pemuda dan tetua biasany berembuk untuk mempersiapkan kemerdekaan, di dalam museum ini sangat banyak peninggalan masa kemerdekaan dan aklamasi perjuangan kemerdekaan yang divisualisasikan dengan patung-patung dan tulisan. Keren deh masuk ke Rumah Juang ini, atau Museum Menteng.





Setelah Shalat ashar di Mesjid Cut Meutia(yang kiblatnya miring karena beda dengan struktur bangunan), kita ke Jalan Cendana, berfoto di ujung jalan tempat kediamannya mantan presiden Soeharto, trus ke arah rumahnya Megawati, dan mampir di bekas rumahnya AH Nasution yang kini sudah dijadikan museum AH Nasution. Di museum ini divisualisasikan kejadian G 30 S PKI di rumah Nasution, lengkap dengan kejadian Ade Irma Suryani yang tertembak serta AH Nasution yang lari. Bentuk visualisasi ini digambarkan dengan sketsa patung-patung per ruangan.









Perjalanan berakhir, enak juga menjelajahi sejarah kota terbesar di Indonesia ini, Jakarta. Karena image kota Metropolitannya, Jakarta sudah seperti tidak menghargai sejarah, mungkin tidak banyak masyarakat Jakarta yang peduli dengan sejarahnya.. tapi petualangan kali ini sangat member arti bahwa tiap kota punya sejarah dan perkembangannya masing-masing. Telusur Jakarta berakhir, wisata sejarah di tengah peradaban metropolitan

2 komentar:

ciciolina mengatakan...

baguss sekali.
ini menambah wawasan baru bagi saya .
terima kasih ..

isack mengatakan...

Allis.. keren lago cerita jih. Lon mantong han tom ku jak saho di jakarta. asik...