Minggu, 20 Desember 2009

Pesona Lamno, Pesona Wanita Bermata Biru..

Pesona Lamno, Pesona Pantai dan Wanita Bermata Biru..
Catatan Perjalanan Banda Aceh - Lamno 19 desember 2009


Long Weekend, memperingati tahun baru Islam 1 Muharram 1431 H. Semua anggota keluarga tengah berada di Banda Aceh. Setelah 1 tahun berkutat dengan kuliah master di Bandung, sepi tulisan tentang Aceh meski petualangan tetap dijalankan di tanah Jawa. Tahun ini petualangan berhasil dilakukan di semua Provinsi di Tanah Jawa, mulai dari kerasnya kehidupan di kota meranjak Metropolitan Tangerang di Provinsi Banten. Bolak balik ke Jakarta untuk mendalami sejarah Kota Tua Jakarta dan Pelabuhan Sunda Kelapanya.

Dan gak lupa juga mengunjungi Istana Negara yang megah serta bertualang ala presenter televisi saat menyoba semua track busway di Jakarta dengan modal hanya Rp 3500, mulai dari Stasiun BIOS di Utara, sampai Kalideres Barat, Blok M, Ragunan di Selatan, Kampung Rambutan di rada Tenggara jakarta, sampai pada Pulo Gadung di Timur, hingga kembali lagi ke Ancol di Utara. Perjalanan mengasyikkan, dimana merasakan sepinya Jakarta di hari Minggu, keliling Ibukota dengan modal Rp 3500, Lebih jelasnya dapat di baca disini

Bulan Juni 2009 menjadi bulan petualangan dengan tema 6 Provinsi di bulan ke 6. Awal bulan 6 ke Banten dan Jakarta, minggu kedua, mengunjungi Jogjakarta dan Candi Borubudur di Jawa Tengah. Minggu ketiga berbackpacker ria dengan Ridho Bustami di Pangandaran Jawa Barat selama 2 hari dan akhir bulan menikmati panjangannya Suramadu antara Surabaya dan tanah Madura. Misi awal tahun 2009 untuk keliling Jawa sekali lagi tercapai, setelah petualangan keliling jawa di bulan puasa 2006 . Dan ditutup dengan petualangan 4 jam di Malaysia . 2009 mendapatkan pengetahuan dan cita-cita baru, bahwa dunia ini masih sangat luas untuk dikunjungi, wait for me Europe…

Kali ini, misi akhir tahun 2009 untuk 2010 adalah petualangan Aceh.. Mengunjungi setiap titik sejarah dan Budaya Aceh. Menelusuri tiap langkah dan peradaban Masyarakat Aceh dan Menelaah Apa Itu Aceh? Mengapa dan Bagaimana masyarakat Aceh. Banda Aceh menjadi tujuan awal, dimana memang saya adalah anak Banda Aceh, meski numpang gede di Kota Lhokseumawe, hhe..Penelusuran Kota Bandar Wisata Islami Banda Aceh dapat di lihat di sini. Petualangan kali ini akan menikmati pantai barat Aceh, mulai dari pesona Lhoknga hingga pesona Lamno di 3 jam perjalanan dari Banda Aceh.











Lamno, dulunya bagian dari Kabupaten Aceh Barat. Tapi setelah pemekeran, Aceh Barat dibagi menjadi banyak kabupaten, salah satunya adalah Aceh Jaya yang ibukotanya di Calang. Salah satu kota besar yang sering dikunjungi masyarakat Aceh di kabupaten ini adalah Lamno, 86 km dari kota Banda Aceh.
Menurut apa yang ditulis oleh rekan Pak Iskandar Norman, dalam blognya,, begini ceritanya (btw, maap Pak Is, tulisan pak Is alis tambahin kemari ya..)

Lamno, Sebuah Riwayat

Di hulu Krueng Daya dulu ada sebuah dusun yang dinamai Lhan Na, sekarang disebut Lam No. Menurut H M Zainuddin dalam Tarich Aceh dan Nusantara (1961) penghuni dusun itu berasal dari Bangsa Lanun. Orang Aceh menyebutnya “lhan” atau bangsa Samang yang datang dari Semenanjung Malaka dan Hindia Belakang seperti Burma dan Campa. Kemudian ke hulu Krueng Daya itu juga datang orang-orang baru dari Aceh Besar, Pasai dan Poli (pidie).

Pada abad XV terjadi perang antara Raja Pidie dengan Raja Pasai. Perang itu disulut oleh Raja Nagor bekas petinggi di Pasai. Dalam perang itu Pasai Kalah, Sultan Haidar Bahian Sjah tewas. Raja Nagor kemudian memerintah Pasai (1417). Beberapa keturunan Raja Pasai kemudian melakukan perpindahan. Sampai kesuatu tempat mereka kelelahan tak berdaya melanjutkan perjalanan.
Mereka pun mendirikan negeri baru di daerah tersebut, negeri itu diberi nama Daya untuk mengenang ketakberdayaan mereka melanjutkan perjalanan. Cerita yang sama juga disebutkan dalam sebuah dongeng.

Menurut H M Zainuddin (1961), dahulu kala sekelompok orang datang ke negeri itu dengan perahu, sampai di muara sungai perahu mereka kandas. Mereka semua turun untuk mendorong perahu tersebut, tapi perahu itu tetap kandas. Mereka tidak beradaya lalu turun dan membuka perkampungan di sekitar muara sungai itu. Mereka pun menamai daerah itu dengan sebutan Daya.
Suatu ketika Raja Daya dan pasukannya melakukan pemeriksaan ke hulu sungai. Sampai di sana mereka mendapati sebuah perkampungan yang dihuni oleh orang yang mirip dengan bangsa Lanun dari Malaka dan Hindia Belakang. Mereka disebut orang Lhan.

Orang orang Lhan ini merupakan penduduk asli di sana, yang kala itu masih suka mengenakan pakaian dari kulit kayu dan kulit bintang yang tipis. Karena sudah lama mendiami tempat itu maka disebutlah mereka sebagai orang “Lhan Kana” atau “Lhan Na” yang artinya orang Lhan sudah ada disitu. Lama kelamaan terjadi perubahan pengucapat dari “Lhan Kana” menjadi “Lam Na” dan seterusnya ketika Belanda masuk ke Aceh ucapannya menjadi “Lam No”.

Masih menurut H M Zainudin, berdasarkan keterangan T Radja Adian keturunan Uleebalang (Zelfbestuurder) pada tahun 1945 diceritakan, Negeri Daya pernah diperintah oleh Pahlawan Syah, seorang raja yang pernah berperang dengan Poteu Meureuhom. Pahlawan Syah yang dikenal dengan sebutan Raja Keuluang merupakan orang yang kebal terhadap senjata apa pun, ia tidak bias ditaklukkan.







Ia orang yang sangat kuat. Kekuatannya itu diyakini masih menyisakan bekas berupa bekas tapak kakinya. Saat ia mencabut batang kelapa kakinya terbenam ke tanah. Tapak kaki itu disebut-sebut berada di Kuala Daya.

Disebut sebagai Raja Keuluang karena Pahlawan Syah berpostur tinggi besar, ketika dipanggil untuk menghadiri rapat (Meusapat) oleh Raja, peraturan yang diberikan Pahlawan Syah dan daerah yang dipimpinya selalu berbeda dengan daerah lain. Ia banyak mendapat keluangan, maka digelarlah dia Raja Keuluang.

Negeri Keuluang itu terdiri dari Keuluang, Lam Besoe, Kuala Daya dan Kuala Unga. Raja Keuluang meninggal setelah berperang dengan Poteumeureuhom. Raja yang kebal senjata itu berhasil ditangkap ketika daerahnya ditaklukkan. Ia meninggal dalam ikatan rantai besi.

Masa pemerintahan Raja Keuluang atau Pahlawan Syah menurut pemeriksaan Controleur Vetner di calang pada tahun 1938, diperkirakan antara tahun 1500 M sampai 1505 M. seber lain adalah T R Adian, sebagaimana dikutip H M Zainuddin. Menurutnya, pertalian keluarga Raja Keuluang tersebar dari Tanoeh Abee Sagi XXII Mukim Seulimum, Krueng Sabe dekat Calang dan Negeri Bakongan, Aceh Selatan. “Kalau naskah ini serta keterangan T. R. Adian itu kita hubungkan dengan makam Sultan Ali Riayat Sjah atau Marhum Daya, jang menurut pemeriksaan Prof. Dr. Mussain Djajadiningrat, Marhum Daja meninggal dalam tahun 1508,” tulis H M Zainuddin dalam Tarich Aceh dan Nusantara (1961) .

Sementara lainnya, di Kuala Ungan dekat Daya ada satu kuburan raja yang mengkat pada tahun 1497, tapi belum jelas makam siapa apakah makam Marhum Unga atau Marhum Daya. Masih juga belum jelas apakah Marhung Unga itu adalah Pahlawan Syah yang disebut sebagai Raja Keuluang, anak raja Pasai yang pertama membuka Negeri Daya.

Kemudian datang Marhum Daja Sulthan Ali Riajat Sjah yang namanya Uzir, anak dari Sulthan Inajat Sjah ibnu Abdullah Al Malikul Mubin, yang bersaudara dengan Sulthan Muzaffar Sjah. Raja di Atjeh Besar dan bersaudara pula dengan Munawar Sjah Raja di Pidie. Diyakinkan negeri Keluang/Daja itu berdiri pada akhir abad ke XV oleh Marhum Unga, bias jadi juga dibangun oleh Marhum Daya.

Setelah Negeri Daya maju dengan berbagai hasil bumi, pada akhir abad ke XVI datang ke sana orang orang Portugis, Arab, Spanyol dan Tionghoa untuk membeli rempah-rempah. Setelah itu datang juga orang Belanda, Inggris dan Perancis. Malah sampai kini di Lam No terdapat keturunan Portugis.







Bicara masalah keturunan Portugis, Lamno juga dikenal dengan pesona wanita bermata birunya. Mereka tinggal di pedalaman Lamno yang sebenarnya gak semua bermata biru, ada yang bermata coklat, yang tidak ada hanya bermata uang..haha..rasa penasaran iseng-iseng ngeliat tiap cewek yang lewat berpas-pas-an dengan mobil alis, haha. Cewek Lamno banyak yang manis-manis, sesekali melihat mereka dengan balutan kerudung yang melingkari wajah putihnya, dengan dihiasi mancungnya hidung yang terletak di manisnya senyuman. Sangat khas, hingga saat tulisan ini dibuat, masih terbayang…haha

Satu kali di pasar central Lamno, terlihatlah wanita itu, pakaian ungu menjadi perhatian saya dari jauh, menjadi perhatian, karena wajah putihnya menjadi nilai lebih, hingga ia sampai berada di samping, terlihat cahaya biru dari matanya, alamak….. manis nya roman itu…



Adat istiadat warga Lamno bermata biru ini tak berbeda dengan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat pada umumnya. Bahasa Aceh mereka, logat, maupun aksen, serta pengucapannya sama dengan bahasa Aceh biasa dan berlogat Aceh Barat. Menu makanan, dan makanan khasnya adalah makanan khas Aceh, seperti kari, dan masakan Aceh lainnya. Dan nasi merupakan makanan utamanya.
Seorang pemilik rumah makan di Lamno menceritakan pada hari-hari pasar mingguan, wanita dan pria bermata biru ini datang ke Pasar Lamno untuk belanja. "Kalau mau melihat mereka, saat itulah," kata pemilik tempat makan Ci taa Rasa di jalan pasar Lamno (makan siang disini lumayan enak, ada ayam gulai, ikan paya dll). Tapi jarang yang mau difoto. Maka untuk mendekati pria atau gadis Lamno bermata biru sebaiknya melalui kepala desa atau tokoh-tokoh Desa Daya yang biasanya lebih terbuka dengan masyarakat luar, gitu katanya..hhe

Sejarahnya kenapa mereka banyak yang bermata biru bermula dari cerita kerajaan Daya, saat masa penjajahan Portugis. Sebuah kapal perang Portugis yang kalah perang dengan Belanda di Melaka/Singapura. Dalam perjalannya dari Singapura ke negaranya mengalami kerusakan dan terdampar di daratan Kerajaan Daya, pada abad ke-15.

Raja Daya tidak membiarkan begitu saja kapal perang Portugis yang lari dari Perang Malaka dan Singapura itu bersembunyi di daratan Daya. Tentara Daya menembaki kapal itu dengan meriam-meriam besar hingga kapalnya tenggelam. Semua awak kapal dan tentara Portugis menyerah dan minta perlindungan dari Raja Daya, sambil menunggu datangnya kapal Portugis datang menjemput mereka.

Seluruh awak dan tentara Angkatan Laut Portugis tersebut kemudian ditawan oleh Raja Daya dan dikurung dalam suatu kawasan yang berpagar tinggi. Mereka menunggu bantuan, tetapi komunikasi sulit dan bantuan tak pernah datang. Akhirnya mereka menyerah kepada Raja Daya dan menyatakan masuk agama Islam. Setelah itu mereka pun dibebaskan dari tempat tawanannya. Mereka kemudian diajar bertani, diajar bahasa, adat istiadat dan kebudayaan Aceh, dan belajar menjadi orang Aceh. Dan jadilah mereka penduduk Aceh hingga sekarang.

Kalau melihat warga Lamno yang bermata biru atau coklat dan berprofil Eropa ini, tak salah kalau pakar sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Muhammad Gade, mengatakan ejaan lama kata "ATJEH" mempunyai makna, Arab (A), Tjina (Tj), Eropa (E), dan Hindustan/India (H). Maka orang Aceh yang sekarang, sebagian besar adalah keturunan Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan.



Kerajaan Islam pertama adalah Pasai (Pase) berdiri pada abad ke- 9. Pase yang sekarang tepatnya berada di kawasan pantai Samudera Gedong, sekitar 25 km dari Lhok Seumawe arah ke Medan. Di sini masih dapat disaksikan bekas-bekas bandar besar dan sebuah kompleks makam besar keluarga Sultan Pase (Sultan Malikussaleh). Tanah sekitar Bandar Pase ini hingga sekarang banyak mengandung pecahan keramik kuno Cina yang diperkirakan dibawa oleh kapal-kapal Cina yang kemudian juga terlibat perang dengan Kerajaan Pase.

Kerajaan Pase, Daya dan Pedir (Pidie), dan Lamuri kemudian bersatu menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1513 di bawah Raja Ali Mughayat Syah dari Kerajaan Lamuri. Ketika Kerajaan Pase diperintah Sultan Zainal Abidin (tahun 1511), tentara Portugal sebelum berperang melawan Kerajaan Melaka, sempat menyerang Kerajaan Pase.

Menurut Ali Akbar, Ketua Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Cabang Kabupaten Aceh Utara, semua peristiwa itu masih dapat dibaca tertulis dalam aksara Babilonia, Arab, dan Turki kuno pada beberapa batu nisan besar Kompleks Makam Sultan Malikussaleh, Raja Pasai (Pase).







Oke, selesai bicara tentang wanitanya, pesona alam di perjalanan menuju Lamno tidak kalah menarik untuk dibicarakan. Perjalanan berawal dari pantai barat Banda Aceh, mulai dari kawasan Lhok’nga. Jangan lupa untuk membeli kue-kue khas Aceh di kawasan Lampisang, dekat rumah peninggalan Cut Nyak Dhien. Selain untuk membudidayakan peninggalan kuliner tradisional Aceh, juga membantu warga-warga di Lampisang yang saat Tsunami lalu banyak ditinggal keluarganya akibat bencana 2004 itu. Selain itu ya untuk mengisi perut dalam perjalanan yang akan menghabiskan waktu sekitar 3 jam itu.



Jangan lupa pula untuk mengisi perut dengan makanan mengenyangkan, karena perjalanan akan melewati jalan berkelok-kelok yang merupakan perpaduan 3 gunung, Geureutee, Kulu dan satu gunung lupa namanya, hhe.. kemudian, isi bensin mobil atau motor anda, karena di gunung gak ada SPBU. Oia jangan lupa juga dan yang paling penting, siapkan kamera anda…

Melintasi Lhok’nga, melewati Pabrik Semen Andalas, dengan jembatan curahnya menambah indahnya pantai barat Banda Aceh dan Aceh Besar ini. Perjalanan ini akan ditemani ruas jalan selebar 16 meter, sangat luas untuk ukuran jalan negara di Aceh. Jalan yang dibangun oleh Amerika ini menghabiskan dana $ 1 juta per 1 km nya (itu menurut pak Kuntoro Mangkusubroto, mandor BRR Aceh Nias). Bayangkan perjalanan melintasi negara bagian Amerika di Texas menuju Oklahoma, jalanan sangat luas, namun di perjalanan Banda Aceh ke Lamno, melintasi gunung, hhe..

Pesona laut di sebelah kanan mobil bisa dinikmati dengan mata telanjang, karena apa? Garis laut berada di bawah mobil anda..ya, dibawah tebing yang sangat curam dan sangat rawan akan kecelakaan yang akan menyebabkan mobil langsung masuk ke jurang dan ya seperti yang terbayangkan, masuk ke laut.. Keamanan jalan masih sangat kurang, meski ada di beberapa bagian perjalanan gunung, ada pagar pembatas jurang. (saran buat supir: jangan pernah menikmati pemandangan disini, tanggung jawab penumpang berada di tangan anda). Dari gunung geureutee sangat indah, kelihatan laut nan biru, pesona 2 pulau yang terpisah dari daratan sumatera. Beberapa warung tersedia di tengah perjalanan, namun karena kondisi jalan yang disebelah kiri tebing dan sebelah kanan jurang, sangat susah untuk memarkirkan mobil jika hanya singgah membeli sprite dan coca cola untuk memancing angin dalam perut keluar.

Perjalanan akan sangat berbahaya jika dilakukan di tengah hujan lebat, karena tebing-tebingnya masih sangat rawan menghasilkan hujan batu dari atas. Perhatikan setiap rambu lalu lintas yang ada, karena itu akan sangat membantu kita menikmati perjalanan. Selain rambu-rambu adanya batu jatuh dan tanah longsor, perhatikan pula rambu-rambu tikungan. Postur geografis Gunung mengakibatkan perjalanan ini banyak menjumpai tikungan berletter U, mungkin ada puluhan tikungan U disini, sebelum akhirnya di kaki bukit, perjalanan kembali pada lebar jalan belasan meter..ada pula rambu-rambu khas masyarakat Aceh : “Dilarang Berkhalwat..!!”



Dikaki gunung geurutee juga terdapat pasir putih, yang tidak panjang seperti di Pangandaran, Cuma lumayan lah untuk menikmati indahnya pantai yang belum banyak terjamah ini (masih sangat alami), mungkin mirip pantai Pamengpeuk di selatan Jawa.. di kaki Geureutee ini, terdapat sebuah kawasan indah bekas Kerajaan Islam Daya, yang pernah jaya dan kuat.

Di Desa Daya juga terdapat sebuah bukit kompleks Makam Marhum Daya. Di batu-batu Nisannya terdapat catatan-catatan sejarah yang tertulis dalam aksara Babilonia dan Arab. Kompleks Makam Marhum Daya ini terpelihara dengan baik dan selalu ada yang berziarah dan membaca ayat-ayat suci Al Quran. Juga banyak yang datang karena tertarik pada sejarah kebesaran Kerajaan Daya.

ADA tradisi yang cukup menarik dalam masyarakat Daya yang juga diikuti oleh warganya yang bermata biru, yaitu perayaan adat Seumeulueng (suguhan makanan) untuk raja dan juga semua rakyat Daya. Perayaan Seumeulueng ini berlangsung pada setiap Hari Raya kedua Idul Adha.
Pada hari tersebut, seluruh rakyat Daya dengan dikawal oleh 17 pengawal yang berpakaian unik yakni, jubah hitam dengan kepala dan wajah tertutup oleh kerudung hitam sampai ke dada bagian atas, hanya berlubang pada bagian mata untuk melihat. Jubah itu bergaris-garis merah, dan pasukan pengawal kerajaan itu semuanya mengenakan pedang.

Rakyat yang berjalan dibelakangnya membawa hidangan makanan untuk raja. Tempat upacaranya berada di atas sebuah bukit tak jauh dari kompleks Makam Marhum Daya. Karena Raja Daya tidak ada lagi, maka yang menerima hidangan itu adalah salah seorang dari tokoh masyarakat Daya atau bisa juga salah seorang pejabat Kabupaten Aceh Barat yang dihormati rakyatnya.


Hari itu semua warga Daya keluar dari rumahnya dan mereka mengenakan pakaian yang baru yang indah-indah sebagai tanda ikut merayakan hari Seumeulueng. Upacara ini selalu ramai karena masyarakat Lamno, Meulaboh, ibu kota Aceh Barat, dan juga dari Banda Aceh, datang untuk menyaksikan acara langka dan unik itu.

Semua kegiatan adat Seumeulueng itu jika dikemas dalam satu paket wisata, ditambah dengan situs Kerajaan Daya yang masih tersisa, termasuk Kompleks Makam Marhum Daya yang penuh relief beraksara Babylonia, Turki, dan Arab kuno, akan menjadi daya tarik tersendiri.




di kota Lamno sendiri tidak banyak yang menarik, selain wanitanya..setelah shalat Zuhur dijama’ Ashar di Lhoong, perjalanan pulang menuju Banda Aceh disiapkan, sampah dibuang (ingat untuk tidak membuang sampah sembarangan dimana pun anda bertualang, karena petualang adalah pecinta alam, bukan perusak Alam). Perjalanan hujan, meskipun demikian pemandangan masih terlihat jelas diantara wiper yang dengan setia membersihkan kaca depan mobil. Perjalanan di akhiri dengan makan jagung bakar di pantai Lhoknga, lumayan untuk kembali memanaskan suasana karena dinginnya hujan. Dalam perjalanan pula akan banyak pedagang yang menjajakan buah-buah seperti Rambutan, Durian, ada juga yang menjual ikan Asin, dari berbagai jenis ikan dan cumi-cumi.

Perjalanan yang menyenangkan, will be back in the next destination.. wait for me the Blue Eyes Girls..

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Wah membaca tulisan ini dan melihat fotonya membuat saya melayang mundur kebeberapa tahun silam, tepatnya tahun 2007.... saya dan beberapa teman kampus dikirim ke Aceh, Aceh Jaya, Calang untuk sebuah misi kemanusiaan. Saat itu semua tampak berbeda dengan yang saya lihat sekarang, jalannya rusak parah saat itu tidak seperti yg ada di foto! dan ini membuat saya rindu dan berharap dapat ke aceh untuk kesempatan kedua!
Thanks untuk artikel dan foto2nya.....

auraman mengatakan...

Wah saya juga pengen maen kesana namun sekarang berada disigli , menjalankan tugas, ntar dah kalau ada waktu maen ksana mas..salam kenal ya,...

irwansyah kande mengatakan...

pesoana mata bitu wawwwwww dahsyat,,apaa emg ada tu cew cew yg bermata biru dsnnnn,,,slm knal ya

irwansyah kande mengatakan...

salam knal ya,,,,,,,,,,,,, apa emg ada masih di zaman sekarg anak gadis mata biru dsnnnnn