Berbicara masalah gender, Aceh dapat dijadikan contoh bagi daerah lain di Indonesia. Sejarah panjang yang dimiliki daerah ini membuktikan bahwa para wanita Aceh telah merdamabaktikan dirinya dalam berbagai bidang, baik sebagai pemimpin di tingkat paling rendah sampai dengan pemimpin tertinggi di masyarakat. Dalam struktur masyarakat, wanita mempunyai otonomi yang cukup, yang mana terlihat pada sebutan po rumoh bagi wanita. Di bidang lain terlihat dari adanya wanita yang menjadi Sultanah, Laksamana, Uleebalang dan tidak sedikit yang berperan sebagai pemimpin perlawanan terhadap penjajah.
Peran wanita di Aceh dalam bidang peperangan secara panjang lebar telah diuraikan oleh H.C. Zentgaff. Beliau menyebut para wanita Aceh sebagai “de leidster van het verzet” (pemimpin perlawanan) dan grandes dames (wanita-wanita besar). Keberanian dan kesatriaan wanita Aceh melebihi segala wanita lain, lebih-lebih dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agamanya baik di belakang layar, maupun tampil ke garis depan perjuangan. Lebih detail, H.C. Zentgaff menyebutkan dalmam pernyataannya:
“Dari pengalaman yang dimiliki oleh panglima-panglima perang Belanda yang telah melakukan peperangan di segala penjuru dan pojok kepulauan Indonesia, bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani perang serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh, dan kaum wanita Acah yang melebihi kaum wanita di daerah lainnya, dalam keberanian dan tidak takut mati. Bahkan mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah dikenal bukanlah laki-laki lemah dalam mempertahankan cita-cita dan agama mereka.
Salah satu srikandi yang sesuai dengan gambaran Zentgaff adalah Cut Nyak Dhien. Cut Nyak Dhien adalah pahlawan Nasional yang ditetapkan melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 106/TK/1964 tanggal 2 mei 1964.
Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien dilahirkan pada tahun 1848 di kampung Lam Padang Peukan Bada, wilayah VI mukim, Aceh besar. Ia merupakan seorang putri uleebalang yang berdarah pahlawan, Teuku Nanta Seutia. Teuku Nanta Seutia berasal dari keturunan Machoedoem Sati, seorang perantau dari daerah Sumatra Barat. Ia diperkirakan datang ke Aceh pada abad 18 ketika kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalulu Badrul Munir (1711-1733)
Machoedoem Sati kemudian berpindah ke muara sungai Woyla, perbatasan daerah Pidie, kampung itu bernama Kuala Bhee dan menetap disana. Atas jasa-jasanya pada Sultan Aceh, Machoedoem Sati diberi kekuasaan di VI mukim untun turun temurun dan namanya diganti menjadi Nanta Seutia Raja. Ia kemudian memiliki dua orang putra yang diberi nama Teuku Nanta Suetia dan Teuku Cut Mahmud. Teuku Nanta Seutia (ayah Cut Nyak Dhien) yang kemudian menjadi penerus uleebalang. Sedangkan Teuku Cut Mahmud menikah dengan adik raja Meulaboh Cut Mahani. Hasil perkawinan ini lahirlah 4 orang putra yang salah seorangnya adalah Teuku Umar (suami kedua Cut Nyak Dhien). Maka, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar adalah sepupu yang juga Suami Isteri.
Ibu Cut Nyak Dhien juga berasal dari keturunan bangsawan, putri seorang uleebalang terkemuka dari kemukiman Lampagar, juga wilayah VI mukim. Sebagaimana lazimnya putri bangsawan dan putri Aceh lainnya, sudah sejak kecil Cut Nak Dhien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan itu diberikan baik dari orang tuanya, maupun dari guru-guru agama pada waktu itu. Pengetahuan tentang rumah tangga seperti memasak, cara menghadapi atau melayani suami, serta hal lain tentang tata kehidupan berumahtangga didapatkan dari ibunya dan kerabat orangtua perempuan tersebut. Karena didikan tersebut, Cut Nyak Dhien mempunyai sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal.
Seperti lazimnya pada masyarakat bangsawan di Aceh, perjodohan antara sesama kerabat bangsawan menjadi hal yang lumrah. Di saat Cut Nyak Dhien menginjak umur 12 tahun, ia dijodohkan oleh orang tuanya dengan anak saudara laki-laki dari pihak ibunya yang bernama Teuku Ibrahim Lamnga, putra Teuku Po Amat, uleebalang LamNga XIII mukim Tungkop, Sagi XXVI mukim Aceh besar. Teuku Ibrahim anak seorang uleebalang, tetapi juga disebabkan seorang pemuda yang taat agama, berpandangan luas, seorang alim yang memperoleh pendidikan dari Dayah Bitay
Pernikahan mereka dilangsungkan secara meriah, Teuku Nanta mendatangkan penyair terkenal Do Karim untuk membawakan syairnya dihadapan para undangan, syair-syair yang dibawakan mengandung ajaran-ajaran agama yang sangat berguna bagi pegangan hidup. Setelah Cut Nyak Dhien dan Teuku Ibrahim merasa sudah cukup siap mandiri membiayai rumah tangganya, mereka pindah rumah yang telah disediakan oleh Teuku Nanta.
Awal perjuangan
Pecahnya perang melawan kolonial Belanda 1873 menggerakkan seluruh rakyat Aceh untuk berjuang mengusir kolonial. Sultan Aceh, uleebalang beserta rakyatnya bersama-sama mempertahankan Aceh dari serangan Belanda. Mesjid Raya dan Keraton dipertahankan mati-matian oleh rakyat Aceh, meskipun pada tanggal 6 januari 1874, Mesjid itu jatuh ke tangan Belanda, Keraton dihujani peluru dan dapat dikuasai oleh Belanda pada tanggal 31 januari 1874.
Selama berkecamuknya peperangan, Teuku Chik Ibrahim meninggalkan Cut Nyak Dhien di Lampadang untuk berjuang. Oleh karena itu, Teuku Ibrahim jarang berada dirumah. Bersama Teuku Imum Leungbata maju keperbatasan VI mukim dan berusahan menaklukkan Meuraksa. Belanda semakin gencar untuk menundukkan daerah lainnya di luar Keraton dan Mesjid Raya.
Pasukan Belanda bergerak terus menuju wilayah IX mukim dan pasti akan menuju ke VI mukim, berbulan-bulan Teuku Chik Ibrahim tidak bertemu Cut Nyak Dhien. Kedatangannya ingin mengabarkan kepada Cut Nyak Dhien dan rakyat VI mukim harus meninggalkan Lampadang dan mengungsi ke tempat yang lebih aman dan menyiapkan bekal yang cukup untuk melakukan perjalanan yang panjang. Pada tanggal 29 desember 1875, rombongan Cut Nyak Dhien meninggalkan Lampadang.
Pasukan Teuku Nanta dan Teuku Ibrahim yang bermaksud mempertahankan VI mukim akhirnya harus menyingkir akibat serangan Belanda yang dipimpin oleh Van der Hayden. Akhirnya, daerah VI mukim berhasil dikuaisai kolonial. Pada tanggal 29 juni 1878, dalam suatu pertempuran di Lembah Beurandeun Gle’ Taron, kemukiman Montasik, Sagi XXII Mukim, Teuku Ibrahim dan beberapa pengikutnya syahid. Menurut Szkely Lulofs (1951), penyebab peristiwa itu, selain persenjataan yang tidak banyak, juga karena adanya pengkhianatan yang dilakukan oleh seorang Arab bernama Habib Abdurrahman.
Perjuangan
Kekecewaan dan kesedihan sebagai akibat ditinggal suaminya dan darah kepahlawanan yang mengalir dari keluarganya menjadi dasar kuat bagi Cut Nyak Dhien, bahkan ia pernah berjanji akan bersedia kawin dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut bela terhadap kematian suaminya.
Adalah suatu hal yang tepat bila kemudian datang seorang laki-laki yang bersedia membantu Cut Nyak Dhien membalaskan dendam kepada Belanda, setelah bertahun-tahun menjanda, ia dipinang oleh Teuku Umar yang kebetulan adalah cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri. Teuku Umar yang berjiwa muda, keras, dan pikirannya yang susah ditebak berbeda dengan Cut Nyak Dhien yang lembut, agung, bijaksana, tabah dan sabar. Mulanya Cut Nyak Dhien menolak pinangan itu, tetapi karena Teuku Umar memberi restu apabila Cut Nyak Dhien ikut berperang, maka kemudian, pinangan itu diterima.
Bersatunya dua kesatria ini mengobarkan kembali semangat juang rakyat Aceh. Kekuatan yang telah terpecah kembali dipersatukan. Belanda di Kutaraja mendengar pernikahan antara Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Uleebalang yang memihak Belanda merasa kecut juga mendengar pernikahan mereka , adapun Tgk Chik di Tiro dan kawan-kawan seperjuangannya amat mendukung pernikahan mereka.
Bukti dari ampuhnya persatuan kedua pejuang Aceh ini adalah dapat direbut kembali wilayah VI mukim dari tangan Belanda. Cut Nyak Dhien dapat pulang lagi ke kampung halamannya, pada saat itu Teuku Nanta sudah sangat tua, oleh karena itu, Cut Rayut diangkat menjadi uleebalang pengganti Teuku Nanta. Namun sesungguhnya pengangkatan itu hanya sekedar kamuflase saja. Dengan diangkatnya Cut Rayut menjadi uleebalang, Cut Nyak Dhien akan bebas menjalankan politik dalam perjuangan Aceh. Cut Nyak Dhien kembali membangun rumah tangganya di Lampisang. Rumah ini menjadi markas pertemuan para tokoh pejuang dan alim ulama yang mengorbankan semangat jihad fisabilillah.
Selama Cut Nyak Dhien mendampingi Teuku Umar, banyak hal yang dapat dijadikan sebagai sebuah pengalaman menarik. Teuku Umar adalah seorang pejuang yang unik, iai dicintai rakyat, tapi pernah dibenci juga. Taktik Teuku Umar didalam peperangan menghadapi Belanda tergolong aneh bagi orang lain dan juga Cut Nyak Dhien sendiri. Ia pernah membantu Belanda atas permintaan Gubernur Aceh Loging Tobias, untuk membebaskan Kapal Inggris yang terdampar, kemudian disita oleh Teuku Imam Muda Raja Tenom. Namun pada saat itu terjadi penyerangan terhadap awak kapal yang dilakukan oleh pejuang Teuku Umar. Setelah peristiwa itu, Teuku Umar kembali ke Lampisang dan tidak mau lagi bekerja sama dengan Belanda. Tetapi rakyat Aceh tidak langsung percaya Teuku Umar, persoalan ini selesai setelah Kapal Nisiero baru diselesaikan setelah Belanda membayar tebusan sebesar 100.000 dolar kepada Raja Teunom
Kejadian lain adalah pada tanggal 14 juni 1886 Teuku Umar kembali mengadakan serangan terhadap kapal Hok Canton, kapal ini berlabuh di pantai Rigaih. Waktu itu Hansen beserta istrinya dan juru mudi Faya ditawan, karena Hansen meniggal, maka istrinya dan Faya dibawa ke gunung. Belanda berusaha untuk mencari kontak dengan Teuku Umar, tetapi tidak ada hasilnya. Sekali lagi Gubernur Belanda memberikan tebusan 25.000 kepada Teuku Umar, uang itu dibagi-bagikan kepada rakyat Aceh.
Namun kemudian, pada tanggal 30 september 1893, Teuku Umar beserta pasukannya yang berkekuatan 250 orang secara resmi bersedia membantu Belanda dan menyatakan tunduk kepada Belanda di Kutaraja. Teuku Umar bersedia untuk mengamankan Aceh dan Belanda memberikan senjata yang lengkap kepada pasukannya untuk menjalankan misinya mengamankan Aceh. Teuku Umar diberikan tanggung jawab panglima dan diberikan gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Rumahnya di Lampisang dibangun oelh pemerintahan Belanda. Bentuknya disesuaikan denga bentuk rumah pejabat Belanda dan dihiasi taman serta diberikan fasilitas yang memadai. Teuku umar kemudian menjalankan tugas dari Belanda untuk merebut daerah-daerah yang masih dikuasai oleh pejuang Aceh. Namun ternyata perjuangan itu hanya bersifat sandiwara saja bersama Cut Nyak Dhien dan pada tanggal 29 maret 1896 ia kembali membawa pasukannya untuk kembali dengan masyarakat Aceh dan membawa persenjataan yang lengkap yang merupakan hasil curian dari Belanda
Mengetahui pengkhianatan yang dilakukan Teuku Umar, Belanda mencabut jabatan sebagai panglima perang, gelar kebesaran Johan Pahlawan dan menyatakan perang terhadap Teuku Umar. Rumahnya di Lampisang dibakar dan dihancurkan oleh Belanda.
Akhirnya Teuku Umar beserta Cut Nyak Dhien pergi ke daerah Barat Aceh dan bertempur habis-habisan melawan Belanda. Selama itu pula Belanda terus mengejar keberadaan pasukan yang dipimpin suami istri tersebut. Pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar berniat menyerang kedudukan Belanda di Meulaboh, namun misi ini telah diketahui Belanda, dan Belanda mengirim pasukannya di daerah Suak Ujung Kalak Meulaboh untuk menunggu rombongan. Di daerah ini pula terjadi peperangan antara kedua pihak dan Teuku Umar syahid tertembak peluru Belanda. Jenazahnya dibawa oleh pasukan Aceh ke daerah lain. Kematian ini diketahui oleh Cut Nyak Dhien, dan dengan tekad yang membara, Cut Nyak menyediakan diri untuk memimpin perjuangan kembali.
Dalam perjuangannya, Cut Nyak Dhien dibantu oleh para uleebalang, datuk-datuk, serta penyair-penyair yang senantiasa membakar semangat juang masyarakat Aceh. Ribuan tentara Belanda tewas dan jutaan uang dihabiskan demi mengejar Cut Nyak Dhien. Tokoh tokoh yang membantu perjuangan Cut Nyak Dhien diantaranya adalah Teuku Ali Baet menantunya yang memberikan uang dan senjata kepada rombongan. Ada pula Teuku Raja Nanta, adik Cut Nyak Dhien yang sempat berpisah dari rombongan karenan kejaran Belanda, dan akhirnya syahid di pedalaman Meulaboh. Pada saat itu pula terjadi perlawanan oleh Sultan Muhamammad Daud Syah dan Panglima Polim yang berjuang di daerah Pidie.
Dalam perjuangan grilyanya, pendukung setia Cut Nyak Dhien selalu menjaga siang malam dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menghindari penggerebekan yang dilakukan Belanda yang tidak lain adalah imbas dari pelaporan para pengkhianat yang memberitahukan dimana posisi rombongan Cut Nyak Dhien.
Ada 2 Kapten Belanda yang menjabat saat perjuangan Cut Nyak Dhien, yaitu Van Heutz dan Van Dalen. Selama Van Heutz memimpin penjajahan (1898-1904), rakyat Aceh menderita korban sebanyak 20.600 orang. Pada tanggal 8 februari 1904 Van Dalen melakukan perjalanan panjang selama 163 hari kepedalaman Aceh, ia disertai 10 brigade marsose. Tujuannya adalah untuk menumpas habis perlawanan Aceh yang masih aktif di tanah Gayo (Aceh tengah dan Aceh tenggara).
Karena pengejaran habis-habisan tersebut, ruang gerak rombongan Cut Nyak Dhien tedesak, baik dari segi material senjata, bahan makanan yang tersedia, mental berjuang yang semakin kendur, serta fisik yang mulai menurun dikarenakan berbagai faktor yang membuat Cut Nyak Dhien menjadi sakit-sakitan dan terkadang dipapah saat melakukan perpindahan dari satu gubuk ke gubug yang lain.
Kondisi ini membuat Pang Laot, salah seorang pengikut setia Cut Nyak Dhien mengusulkan kepada Cut Nyak Dhien untuk menghentikan perlawanan dan menjaga kesehatannya dalam perawatan Belanda, namun Cut Nyak Dhien meresponnya dengan kemarahan sambil mengeluarkan perkataan: “lebih baik aku mati di rimba daripada menyerah kepada kafir Kompeni”.
Namun, dengan berat hati, Pang Laot akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda dan memberitahukan kepada Belanda di mana keberadaan Cut Nyak Dhien, dengan perundingan kepada Jendral Van Nuuren bahwa Cut Nyak Dhien akan dirawat sebagai seorang Pahlawan dan tidak akan dijauhkan dari masyarakat Aceh yang dicintainya. Perundingan ini disetujui oleh jendral Van Veltman
Atas kesepakatan itu, pada tanggak 23 Oktober 1905, Van Veltman mengerahkan pasukannya sebanyak 6 brigade (120 bayonet) ke daerah Pameue. Terjadi perlawanan dari para pengikut Cut Nyak Dhien, namun jumlah serdadu yang sangat minim membuat pasukan Aceh yang dipimpin Panglima Habib Panjang kalah, dan sang Panglimai pun syahid ketika hendak menyelamatkan anak buahnya.
Cut NyakDhien dikejar sampai ke daerah Beutong, namun sekali lagi paukan Aceh berhasil melarikan diri dengan jumlah yang sangat sedikit untuk melindungi Cut Nyak Dhien. Pada tanggal 7 november 1905, seorang anak kecil kurir Cut Nyak Dhien berhasil ditangkap oleh pang Laot dan dimintai keterangannya tentang keberadaan Cut Nyak Dhien. Berita itu membuat jendral Van Veltmen langsung memerintahkan pasukannya untuk bergerak. Akhirnya pencarian pun berakhir, Cut Nyak Dhien ditemukan, namun Cut Gambang putri Cut Nyak Dhien berhasil melarikan diri dengan lukak di dadanya. Pada saat ditangkap, Cut Nyak Dhien tidak mampu menahan emosinya kepada Pang Laot, Cut Nyak Dhien melontarkan sumpah serapah baik kepada Pang Laot, maupun kepada Belanda yang pada saat itu memperlihatkan sikap hormat.
Untuk beberapa saat, Cut Nyak Dhien diperlakukan sebagai seorang Pahlawan oleh Belanda, diberika fasilitas dan pelayanan yang baik. Namun rasa simpati dari rakyat tidak pernah hilang kepada Cut Nyak Dhie, membuat Cut Nyak Dhien sering dikunjungi oleh para masyarakat. Keadaan ini membuat Van Daalen selaku Gubernur Belanda merasa cemas dan mengusulkan untuk mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang agar jauh dari rakyat Aceh.
Satu tahun berada di pengasingan Sumedang, Cut Nyak Dhien mendirikan Pengajian untuk masyarakat sekitar dan pada tanggal 6 November 1908, seorang pejuang Srikandi Aceh itu pun syahid dalam pengasingan jauh dari keluarga dan rakyat yang dicintainya.
Pertanyaan Umum Seputar Perawatan Subaru XV Gen-1 (2013-2017)
5 minggu yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar