Telekomunikasi saat ini menjadi komoditas yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat, mulai dari lapisan masyarakat menengah ke bawah sampai ke jenjang menengah atas, telekomunikasi menjadi sebuah kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi dan hampir menjadi kebutuhan primer masyarakat. Penulis saat ini tidak akan membicarakan kebutuhan itu secara mendetail, juga tidak membahas masalah persaingan perusahaan penyedia layanan telekomunikasi di Indonesia, karena kita akan masuk kepada ruang lingkup yang sangat luas seiring dengan beragamnya strategi bisnis yang dijalankan masing-masing perusahaan.
Dalam kesempatan ini, penulis akan mengajak pembaca melihat kembali apa yang terjadi di masa lalu saat telekomunikasi masih berupa mimpi dan akhirnya diwujudkan dalam perjalanan bisnisnya, teknologinya dan regulasinya saat telekomunikasi itu sendiri sekarang menjadi sebuah bisnis yang menjanjikan. Tidak mungkin sebuah komoditi bisnis tiba-tiba muncul tanpa adanya sebuah metamorfosa rangkaian kehidupannya. Di lain kesempatan, kita akan membahas sejarah telekomunikasi diluar sisi bisnis yang akan kita bicarakan sekarang.
Tahun 1884, Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Perusahaan Post-en Telegraafdienst yang menjadi pelopor perusahaan telekomunikasi di Indonesia yang kemudian dalam perkembangannya kita kenal dengan nama PT. Telkom. Dalam masa sebelum kemerdekaan, perusaahan ini mengalami banyak perubahan nama seiring perubahan fungsi kerja yang dikelola. Hingga sampai tahun 1965, perusaahan yang saat itu bernama PN Postel, dilebur menjadi PN Pos & Giro dan PN Telekomunikasi
Tahun 1966, saat Presiden Soeharto menjabat Presiden Republik Indonesia, karena kesigapannya mengikuti arah pembangunan Indonesia, Presiden Soeharto membentuk Tim Ahli Ekonomi Presiden mendampingi Kabinet Pembangunan Pertama dan mengeluarkan UU nomor 1 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), yang menurut penulis adalah strategi pembangunan yang sangat jitu yang menjadi titik awal perkembangan telekomunikasi di Indonesia.
Sebelum Repelita dicanangkan, para pejabat Dirjen Postel sebenarnya sudah mengusulkan kepada Pemerintah agar Indonesia menjadi anggota Intelsat, yang merupakan Konsorsium Telekomunikasi Satelit Internasional yang berdiri tahun 1964. Usul ini didasari kepada Infrastruktur Telekomunikasi Indonesia saat itu masih menggunakan teknologi berfrekuensi tinggi (single-side band dan shortwave) untuk menyelenggarakan telekomunikasi hingga titik terjauh dengan segala macam permasalahannya. Dengan masuknya Indonesia ke Intelsat, diharapkan Indonesia mempunyai standarisasi telekomunikasi internasional.
Adalah Soehardjono, yang menjadi Direktur Jendral Pos dan Telekomunikasi yang pertama di masa Orde Baru dan Sukarno Abdulrahman selaku Direktur Pembangunan PN Telekomunikasi, yang memperjuangkan agar Indonesia menjadi anggota ITU (International Telecomunication Union) dan menjadi founding member dari Intelsat. Dengan menjadikan Telekomunikasi sebagai sarana yang sangat penting dalam menjalankan visi dan misi Orde Baru, Pemerintah menyetujui usulan tersebut meskipun saat itu Pemerintah berada dalam kondisi keuangan yang tidak stabil.
Beranjak dari masalah tersebut, UU tentang Penanaman Modal Asing menjadi sebuah jawaban dari permasalah keuangan. Adalah ITT (International Telephone and Telegraph Corporation), sebuah perusahaan telekomunikasi raksasa Amerika Serikat saat itu yang menjadi perusahaan asing pertama yang menanamkan modalnya di bidang telekomunikasi sekaligus menjadi perusahaan asing kedua setelah Freeport di Papua yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Dengan perjanjian kerja sama antara ITT dan Pemerintah Republik Indonesia diwakili Departemen Perhubungan saat itu, dimulailah babak baru perkembangan telekomunikasi di Indonesia, ITT menanamkan modalnya sebesar US$ 6,1 juta untuk membuat stasiun bumi pertama di Indonesia yang bertempat di Jatiluhur. Dalam perjanjian itu juga diatur soal kepemilikan Stasiun, pembagian keuntungan, pembayaran pajak dan hal-hal mengenai pengaturan operasional Stasiun.
29 September 1969, Stasiun diresmikan oleh Presiden dan menjadi hari bersejarah bagi per-telekomunikasian Indonesia dengan penggunaan Stasiun sebagai penyelenggara telekomunikasi internasional via Intelsat. Sesuai dengan perjanjian dan Undang Undang, ITT wajib melembagakan sebuah perusahaan sebagai penyelenggara kerjanya, maka lahirlah PT. Indonesian Satellite Corporation (Indosat) yang akan dipimpin oleh direksi yang berisi perwakilan kedua belah pihak.
Sejak dioperasikannya stasiun Jatiluhur, volume pembicaraan internasional Indonesia meningkat tiap tahunnya dan menjadi sebuah pangsa pasar bisnis yang menggiurkan. Fenomena ini menjadi bumerang bagi para pejabat telekomunikasi lokal, karena pasar yang sedemikian menguntungkan itu harus dibagi dengan pihak asing sesuai dengan MoU yang telah disepakati.
Secara perkembangan teknologi, Perumtel (telah berganti nama), menjadi perusahaan yang merasa paling dirugikan oleh kehadiran Indosat, karena Perumtel saat itu tidak mendapatkan bagian apa-apa dari percakapan internasional, padahal percakapan itu juga memakai jasa Perumtel yang menangani percakapan nasional. Sebagai contoh, seorang di Surabaya yang menelepon ke Belanda, harus melalui stasiun Jatiluhur (jalur nasional) sebelum akhirnya dihubungkan dengan Belanda.
Sebagai Informasi tambahan, sejak 1881, sebenarnya di bawah permukaan laut Indonesia telah dibangun SKKL (Sistem Komunikasi Kabel Laut), yang menjadi sarana Pemerintah Hindia Belanda berkomunikasi saat masih menyerang Kesultanan Aceh untuk memberitahukan perkembangan penyerangan dan meminta bantuan kepada Batavia. Sejak tahun 1966, proyek SKKL dihentikan, dan diganti dengan SKSD (Sistem Komunikasi Satelit Domestik) yang menjadikan Satelit sebagai tulang punggung infrastruktur Telekomunikasi di Indonesia dan mulai dioperasikan tahun 1975. Kebijakan ini diambil oleh Pemerintah dengan menjadikan Proyek SKSD menjadi Proyek Nasional dan mencatatkan Indonesia sebagai nagara kedua di dunia setelah Kanada yang memakai Satelit sebagai sarana telekomunikasinya.
Tahun 1976, satelit Palapa 1 diluncurkan dari Florida. Dan mulai saat ini, telekomunikasi nasional dan internasional di Indonesia masuk ke level yang lebih baik dengan ditunjang oleh jaringan modern gelombang mikro, kabel bawah laut, dan kabel serat optik. Tahun ini juga Indonesia memenuhi syarat Interkonetivitas seperti yang diharapkan dalam CCIR dan CCITT (badan internasional yang menetapkan standar untuk Radio, telepon dan telegraf).
Saat itu Indonesia mempunyai perusahaan telekomunikasi bonafit di Dunia yaitu Indosat dengan stasiun bumi di Jatiluhur yang menyelenggarakan telekomunikasi internasional, dan Perumtel dengan satelit Palapanya yang menyelenggarakan telekomunikasi nasional dan regional. Indonesia menjadi lahan subur bagi perkembangan telekomunikasi karena luas wilayahnya, pasar yang menguntungkan, serta keadaan keuangan negara Indonesia di pertengahan dasawarsa 1970an yang tengah surplus dikarenakan keuntungan dari sektor Migas.
Para ilmuwan telekomunikasi indonesia, pada awal dasawarsa 1980an, melihat perkembangan telekomunikasi ini menjadi sebuah bisnis yang bagus dan akan sangat merugikan Pemerintah jika bidang ini masih dibagi hasil dengan pihak asing, maka munculah ide untuk mengakuisisi Indosat dari kepemilikan asing dengan menjadikan perusahaan itu sebagai BUMN.
Maka, bermodal Kepres Nomor 52 tahun 1980, para pejabat telekomunikasi itu menjajaki kembali perjanjian dengan ITT tentang kepemilikan Indosat. Dengan alasan perjanjian itu tidak sesuai lagi dengan keadaan pembangunan yang sedang terjadi di Indonesia, pemerintah Indonesia secara resmi berniat untuk membeli Indosat dan menjadikannya BUMN. Dengan serangkaian perundingan yang alot yang juga melibatkan pemerintah Amerika Serikat, maka disetujui pembelian 100 % saham Indosat oleh Pemerintah, dan Indosat resmi menjadi BUMN dengan harga US$ 43, 6 juta dengan kurs Rupiah terhadap dolar saat itu sebesar Rp 625.
George Hunter yang saat itu menjabat sebagai Managing Director Indosat mengatakan bahwa:
”Keputusan Pemerintah Republik Indonesia untuk membeli Indosat tidak lepas dari adanya orang-orang di Perumtel yang arogan dan tak ingin kehilangan revenue nya ke Indosat.”
Terlepas dari benar tidaknya anggapan itu, dalam dunia bisnis, terlebih di bidang telekomunikasi yang saat itu sedang berkembang pesat, akan sangat mudah terjadi silang pendapat dan kebijakan yang saling bersentuhan dengan kepentingan masing-masing stake holder yang bermain di dalamnya. Penjualan Indosat kepada SingTel serta kemudian kepada Qtel baru-baru ini juga tidak lepas dari strategi bisnis yang tidak lain bertujuan agar Perusahaan dapat bertahan dan dapat meraup untung sebanyak-banyaknya.
Kelahiran Perusahaan penyedia telekomunikasi di indonesia seperti PT. Excelcomindo Pratama, PT. Mobile-8 Telecom dan PT Telkomsel dan lain-lain juga ikut meramaikan persaingan dunia bisnis telekomunikasi di Indonesia yang sebenarnya telah ada sejak Indosat berdiri dan menjadi pesaing Telkom di bisnis telekomunikasi.
Walaupun strategi bisnis ini sekarang tengah beralih kepada strategi permainan tarif, namun penulis yakin, masing-masing perusahaan tetap berkomitmen untuk menyelenggarakan telekomunikasi Indonesia yang menjadikan kepuasan pelanggan sebagai prioritas utama dalam bisnisnya. Strategi bisnis yang dijalankan oleh sarjana telekomunikasi Indonesia pada rentang tahun 1960-1980 dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga, tidak hanya menjadi sebuah sejarah yang ditulis dalam buku, tapi juga menjadi motivasi perusahaan dalam menyediakan layanan telekomunikasi di Indonesia.
Pemerintah juga hendaknya ikut serta dalam mengatur perkembangan itu, tidak hanya menjadi pengguna tanpa memiliki andil yang besar dalam kemajuan teknologi dan bisnis telekomunikasi. Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), serta pihak-pihak lain dapat ikut serta dalam membenahi permasalahan yang ada dan dapat merumuskan solusi dari ancaman dan gangguan serta kemajuan teknologi yang akan terjadi masa akan datang.
Dengan informasi tentang sejarah pertelekomunikasi di Indonesia ini, penulis berharap seluruh masyarakat dapat lebih mengenal sarana yang dipakai terkait masalah perkembangan teknologi, regulasi dan permasalahan yang terjadi didalamnya. Juga diharapkan agar masyarakat juga ikut ambil bagian dalam perkembangan teknologi dan bisnis telekomunikasi dengan memanfaatkannya untuk mendirikan lapangan kerja baru bagi penduduk indonesia, terutama di Aceh, menciptakan teknologi-teknologi dan inovasi yang mendukung telekomunikasi dan membantu pemerintah dengan memberikan saran dan kritikan terhadap bidang bisnis yang menjanjikan ini.
Telekomunikasi di Indonesia menjadi sebuah pasar bisnis yang menggiurkan untuk saat ini dan masa akan datang, selain jumlah penduduknya yang banyak, pola hidup masyarakat indonesia juga masyarakat Aceh sangat cepat beradaptasi dengan perkembangan teknologi, dan teknologi telekomunikasi adalah teknologi yang mempunyai kompabilitas tinggi.
Kita akan melihat sepuluh tahun kedepan, seluruh masyarakat di Aceh dan di Indonesia telah dapat tersambung dengan berhasilnya penyedia layanan telekomunikasi untuk menjalankan “sumpah palapa” yang mempunyai cita-cita untuk menyatukan nusantara walaupun dengan filosofi berbeda untuk jaman modern saat ini
Terakhir penulis mengambil kalimat dari Sukarno Abdulrahman yang dapat kita jadikan acuan dalam berbisnis teknologi telekomunikasi:
“Dalam telekomunikasi, yang penting bukanlah standarisasi, melainkan kompabilitas”
Pertanyaan Umum Seputar Perawatan Subaru XV Gen-1 (2013-2017)
5 minggu yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar